Apindo: AS tak mungkin lirik CPO Sumsel

id sawit, as tak mungkin lirik cpo sumsel

Apindo: AS tak mungkin lirik CPO Sumsel

Ilustrasi. (FOTO ANTARA)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Negara Amerika Serikat tidak mungkin melirik produk turunan sawit Crude Palm Oil hasil perkebunan Sumatera Selatan, karena beranggapan akan mengganggu produksi dalam negeri, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Provinsi Sumsel Sumarjono Saragih.

"Produk minyak sawit mentah (CPO) tidak mungkin masuk ke pasar Amerika Serikat (AS) karena negara ini melindungi produk dalam negerinya yakni biji matahari dan minyak kedelai," kata Sumarjono seusai menghadiri acara promosi investasi AS "Doing Business with The USA" dengan para pemangku kepentingan Sumsel di Palembang, Kamis.

Ia mengemukakan, beberapa waktu lalu produk CPO Indonesia dilarang masuk ke AS, karena dianggap tidak ramah lingkungan mengingat terjadi pembabatan hutan.

Sementara, anggapan itu sendiri tidak dijabarkan secara rinci oleh AS, mengingat hutan yang dimaksud dalam pengertian di Indonesia dibagi menjadi dua yakni hutan sebagai kawasan tanam, dan hutan hutan lindung.

"Di Indonesia, perkebunan sawit itu memanfaatkan hutan kawasan tanam yang memang diizinkan. Jika yang dimaksud hutan lindung jelas salah pengertian, karena membabat hutan lindung akan dipenjara di negeri ini," ujarnya.

Lantaran itu, Apindo Sumsel mempertanyakan sikap Amerika Serikat tersebut, mengingat akan memasarkan sejumlah produk dan jasa ke Sumatera Selatan.

AS melalui Atase Perdagangan Jesse M Lapier mengunjungi Palembang bersama perwakilan sejumlah perusahaan ternama yakni Fedex, GE, Ford, Map, dan Sriwijaya Air untuk penawaran penggunaan jasa dan produk.

"AS mau menjadikan Sumsel sebagai pasar, maka dalam hukum bisnis Indonesia pun bertanya apa yang bisa dijual di sana. Lantas bagaimana posisi AS ketika mendapati kenyataan bahwa negara tujuan merupakan penghasil sawit terbesar di dunia," katanya.

Sumsel merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kehidupan ekonominya bergantung pada perkebunan kelapa sawit dan karet. Sementara, Indonesia dan Malaysia sendiri merupakan dua negara penghasil CPO terbesar di dunia dan mengusai pasar hingga 80 persen.

Menurutnya, perkebunan sawit merupakan anugrah bagi Indonesia karena dalam satu hektare mampu menghasilan sekitar 60 ton cpo, sementara untuk minyak nabati hanya dua puluh persen dari hasil tersebut.

"Artinya harus tegas di sini, jangan sampai Indonesia dirugikan karena hanya dijadikan pasar," ujarnya.


Atase Perdagangan AS

Sementara, terkait dengan persoalan itu, Atase Perdagangan AS Jesse M Lapier berkilah tidak bisa memberikan pernyataan karena hanya mengurus perdagangan jasa dan produk.

"Untuk pertanian ada bagiannya sendiri, dan saya tidak berhak menjawab. Hanya saja, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan AS mengenai ekspor CPO, diantaranya pemeliharaan lingkungan dan keseimbangan pengolahan lahan atau dengan kata lain harus menggarap hasil pertanian lain," ujarnya.

Amerika Serikat menetapkan penolakan terhadap produk minyak sawit Indonesia sejak 28 Januari 2012. Penghentian ini karena AS menilai minyak sawit produksi Indonesia tidak ramah lingkungan.

Kemudian, Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan resmi melalui Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan pada 26 April 2012.

Dalam tanggapan itu dinyatakan bahwa CPO merupakan tanaman paling efisien dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Food Policy Research Institute tahun 2010, CPO hanya membutuhkan 0,26 hektare lahan untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit.