Derita nelayan berakhir di pengadilan Darwin

id nelayan kupang ditangkap australia, pengadilan darwin bebaskan nelayan indonesia, nelayan indonesia australia

Derita nelayan berakhir di pengadilan Darwin

Ilustrasi. (Foto Antarasumsel.com/Arina S.)

Kupang (ANTARA Sumsel) - Derita hidup berakhir tragis bagi nelayan tradisional Indonesia yang perahunya dimusnahkan dan dibakar oleh otoritas keamanan laut Australia, bukanlah kisah baru perjalanan pencari ikan dan biota laut lainnya di Laut Timor.

Sebuah tuduhan klasik yang dialamatkan kepada mereka adalah mencari ikan dan biota laut lainnya secara ilegal (illegal fisihing) di wilayah perairan Australia.

Nelayan tradisional tahu bahwa mereka masih berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan hasil pencatatan GPS (global positioning system), namun hal itu tidak pernah diterima oleh otoritas keamanan laut Australia.

Untuk memperkuat dugaan atas tuduhan klasik tersebut (illegal fishing), nelayan tradisional Indonesia yang sudah ratusan tahun dan berabad-abad lamanya secara turun-temurun mencari ikan dan biota laut lainnya di Laut Timor itu, kemudian digiring masuk ke dalam wilayah perairan Australia.

"Ini bukan sebuah kisah baru. Kami sudah berulang kali mengalami nasib seperti itu. Kami tunjukkan GPS kepada mereka (otoritas keamanan laut Australia), namun mereka tidak menerima bukti rekaman GPS tersebut. Kami digiring terus sampai ke Darwin dengan tuduhan memasuki wilayah perairan Australia secara ilegal," kata Mustafa, nelayan asal Oesapa Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Kisah yang sama juga dilukiskan oleh Sahring (43), nelayan asal Sulawesi Selatan yang sudah lama hidup dan menetap di perkampungan nelayan Oesapa Kupang, sebagai salah satu bentuk pembelaan ketika bersaksi di Pengadilan Federal Australia di Darwin, Australia Utara.

Di hadapan majelis Pengadilan Federal Australia di Darwin, Sahring mengatakan AL Australia keliru melakukan penangkapan pada saat itu dengan tuduhan bahwa "kami sedang mencari dan menangkap teripang di dasar laut Australia".

Perahu "Ekta Sakti" yang ditumpanginya, dirancang khusus hanya untuk menangkap ikan dengan wilayah operasi di sekitar ZEE  Indonesia, sehingga tuduhan AL Australia bahwa nelayan mencari ikan di dasar laut adalah sebuah kekeliruan yang sangat dalam.

Berdasarkan perjanjian antara Indonesia-Australia, wilayah tangkapan nelayan Nusantara ini adalah di atas permukaan laut, sedang di dasar laut merupakan haknya Australia. Perjanjian kedua negara ini terkesan 'tidak rasioal' tetapi harus dijalankan dan dipatuhi oleh kedua negara, terutama nelayan Indonesia yang mencari nafkah hidup di Laut Timor.

"Ketika itu, saya sedang memancing di daerah yang telah umum atau biasa digunakan oleh nelayan lainnya dari Indonesia. Dan, saya merasa berada di atas permukaan laut bersama perahu yang kami tumpangi. Tetapi, kami kemudian digiring oleh patroli AL Australia ke wilayah perairan negara itu dan kapal-kapal kami dibakar," ujarnya.

Gugatan Sahring tersebut akhirnya menang dan Pengadilan Federal Australia di Darwin mendesak pemerintah negara itu membayar kompesasi sebesar 44.000 dolar Australia atau sekitar Rp450 juta.

Kuasa hukum Sahring, Greg Phelps dalam surat elektroniknya yang diterima di Kupang, Kamis (20/3), membenarkan adanya putusan pengadilan tersebut, dan mengatakan kliennya sudah diberi kompensasi sebesar 44.000 dolar Australia. Dengan uraian 25.000 dolar Australia untuk kehilangan perahunya, 15.000 dolar Australia mengganti pendapatan Sahring sebagai nelayan serta 4.000 dolar Australia kompensasi atas tindakan penahanan yang tidak sah.

"Ini merupakan sebuah batu ujian bagi pemilik, kapten dan nelayan Indonesia lainnya yang memiliki kasus yang sama di mana perahu mereka disita dan dihancurkan oleh otoritas negara itu," kata Greg Phelps yang juga pengcara Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) berkedudukan di Darwin, Australia Utara itu.

Kapal nelayan "Ekta Sakti" yang ditumpangi Sahring bersama tiga unit kapal nelayan asal Oesapa Kupang, ditangkap oleh kapal patroli AL Australia HMAS Broome pada 2008 di ZEE Indonesia yang juga meliputi landas kontinen Australia itu.

Kapal-kapal nelayan Indonesia asal Oesapa Kupang itu digiring masuk ke wilayah perairan Australia kemudian dihancurkan dan dibakar oleh patroli AL Australia pada saat itu.

Menurut hakim John Mansfield, kata Greg Phelps, Sahring tidak melakukan pelanggaran apapun terhadap Undang-Undang Pengelolaan Perikanan, dan tidak ada alasan yang kuat bagi pemerintah federal Australia untuk menyita kemudian membakar perahunya.

Greg Phelps menambahkan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Nusantara di perairan Indonesia di bawah lisensi mereka bukanlah merupakan pelanggaran hukum, kecuali mereka terbukti melanggar hak pengelolaan ikan di dasar laut.

Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Haji Mustafa melukiskan peristiwa yang dihadapi Sahring itu sebagai akhir dari sebuah derita panjang, yang akhirnya mendapatkan kebahagiaan di Pengadilan Darwin sebagai tempat untuk mencari keadilan.

"Peristiwa itu bukan hanya menimpa Sahring saja, tetapi ada beberapa nelayan lainnya, termasuk di antaranya saya. Perahu kami dihancurkan dan dibakar, namun kami hanya menunjuk Sahring sebagai perwakilan dalam melakukan gugatan hukum terhadap pemerintah federal Australia," kata Mustafa.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni melayangkan pujiannya kepada hakim John Mansfield yang cukup adil dalam memutuskan perkara yang menimpa nelayan asal Timor Barat tersebut.

Lembaga non pemerintah tersebut terus mendorong Greg Phelps untuk melakukan pembelaan terhadap nelayan Indonesia yang mengalami persoalan hukum seperti yang dialami oleh Sahring dan kawan-kawannya.

"Kasus ini berjalan sudah bertahun-tahun lamanya, namun Greg Phelps tetap dengan setia mendampingi nelayan-nelayan kita sampai akhirnya membuahkan hasil yang begitu menggembirakan dalam upaya membela hak-hak mereka," kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu.

Dalam hubungan dengan itu, Tanoni juga minta kepada pemerintah federal Australia untuk tidak mengajukan banding lagi atas perkara dimaksud, karena hanya akan memperlambat proses pembayaran kompesasi kepada Sahring dan kawan-kawannya.

"Kami akan terus berjuang untuk membela hak-hak nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor, karena persoalan ini tidak ada kaitannya dengan persoalan politik, melainkan urusan kemanusiaan yang dibela oleh siapapun, termasuk di antaranya pemerintah dan para politisi di negeri ini," kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu.

          Tidak melanggar kedaulatan
Kasus nelayan Indonesia yang ditangkap dan ditahan di Darwin dengan tuduhan bahwa mereka menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Australia bukan lagi cerita baru.

Pada April 2008, misalnya, Konsulat RI Darwin sempat mencatat setidaknya ada 253 nelayan Indonesia yang ditahan otoritas Australia di Pusat Penahanan Darwin. Mereka umumnya adalah para nelayan asal Sulawesi Selatan yang merupakan awak dari 33 unit kapal ikan.

Tidak semua nelayan Indonesia yang ditangkap dan kemudian kapalnya dihancurkan otoritas keamanan Australia adalah mereka yang tertangkap tangan saat menangkap ikan di perairan negara tetangga ini. Ada kalanya mereka ditangkap kapal-kapal patroli Australia saat mereka masih berada di perairan Indonesia.

Kasus nelayan Indonesia yang menjadi korban salah tangkap dan pemerintah federal Australia membayar ganti rugi atas kapal-kapal mereka yang telanjur dibakar pernah terjadi dua bulan lalu.

Bahkan pada 14 Mei lalu, lebih dari 200 nelayan Indonesia yang sedang ditahan di Pusat Pehananan Darwin, menggelar protes atas tindakan otoritas Australia yang mereka tuding telah menangkap kapal-kapal ikan mereka di dalam perairan Indonesia.

Sehari setelah aksi protes di Pusat Penahanan Darwin itu, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Australia Tony Burke mengatakan kepada parlemen negara itu bahwa sebanyak 55 nelayan Indonesia yang ditahan di Pusat Penahanan Darwin terbukti tidak melanggar kedaulatan perairan Australia.

Para nelayan itu kemudian diberikan pembayaran kompensasi (ganti rugi) atas kapal-kapal mereka yang dihancurkan aparat Australia pada saat penangkapan.

Terhadap pengakuan dan pembayaran kompensasi ini, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb menyambut baik sikap kesatria pemerintah federal Australia yang mengakui bahwa sembilan dari 33 unit kapal nelayan Indonesia yang telanjur ditangkap oleh patroli negara itu terbukti tidak bersalah dan diberi ganti rugi.

Pada Oktober 2013, tiga perahu nelayan Indonesia yang ditangkap pihak Bea Cukai dan Angkatan Laut Australia, dimusnahkan di Kota Darwin, Northern Territory. Pemusnahan ketiga perahu itu dilakukan dengan cara dibakar.

Menurut Radio Australia ABC, sejak Juli lalu, sudah empat perahu nelayan asal Indonesia yang dimusnahkan di Australia, dan para awak kapalnya ditahan untuk diproses hukum lebih lanjut.

John Marrington dari Otorita Pengelola Perikanan Australia mengatakan perahu-perahu tersebut dimusnahkan dengan cara dibakar, karena mengancam lingkungan serta tidak layak berlayar.

         Masalah bersama
Dalam masalah "illegal fishing" di perairan Australia oleh kapal ikan asing, termasuk asal Indonesia, Menteri Dalam Negeri Australia Bob Debus, baru-baru ini mengatakan bahwa "illegal fishing" adalah masalah yang bukan hanya dihadapi Australia tetapi juga Indonesia.

"Cara efektif untuk mengatasi persoalan itu adalah kerja sama internasional. Pencurian ikan adalah masalah internasional yang telah mengancam stok ikan dunia, lingkungan bahari dan keamanan perbatasan semua negara di kawasan ini," kata Debus.

Persoalan perbedaan peta yang dikeluarkan TNI AL dan otoritas Australia merupakan hal yang dikeluhkan sebagian nelayan Indonesia yang pernah ditahan di Pusat Penahanan Darwin.

Seperti pernah disampaikan Arvinanto Soeriaatmadja, Sekretaris II Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin, banyak di antara nelayan Indonesia itu mengatakan bahwa mereka menggunakan "peta nomor 367" yang dikeluarkan TNI Angkatan Laut tahun 2000 sebagai pegangan mereka dalam melaut.

Dalam "peta nomor 367" itu, perbatasan laut kedua negara memang terlihat namun daerah zona penangkapan yang diarsir sesuai dengan kesepakatan MoU Box 1974 kedua negara tidak jelas terlihat dalam peta yang dikeluarkan TNI AL dan menjadi pegangan para nelayan.

"Kita sudah menerima 'peta nomor 367' yang menjadi pegangan banyak nelayan kita ini dari Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA). Memang secara teknis, tidak terlihat jelas daerah yang diarsir sebagaimana yang ada dalam peta yang dikeluarkan pihak Australia," katanya.

Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Australia, berdasarkan MoU Box 1974, para nelayan tradisional Indonesia masih memiliki akses penangkapan di zona khusus.

Kawasan yang diperbolehkan Australia bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah Kepulauan Karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Sudah begitu banyak kisah derita yang dialami nelayan Indonesia yang mencari nafkah hidup di Laut Timor sebagai ladang kehidupannya. Seiring perjalanan waktu, mereka mulai memetik kebahagiaan melalui peradilan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran seperti yang telah dialami oleh Sahring dan kawan-kawannya.