Jangan biarkan kabut asap "menghantui" setiap kemarau

id kebakaran hutan ,w alhi sumsel, kemarau, kabut asap, kebakaran hutan, menghantyui setiap musim kemarau, ganggun aktivitas masyarakat, kabut

Jangan biarkan kabut asap "menghantui" setiap kemarau

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

...Selain perlu mencari solusi yang tepat, diharapkan pula kepada pemerintah daerah bersikap tegas dengan memberikan sanksi berat kepada siapapun yang terbukti melakukan pembakaran...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Permasalahan kabut asap pada setiap musim kemarau di wilayah Kota Palembang serta beberapa kabupaten dan kota Sumatera Selatan lainnya tidak pernah berhenti "menghantui" masyarakat daerah setempat.

Permasalahan kabut asap tersebut kini sejak awal September 2014 kembali mengganggu masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar 8,6 juta jiwa itu.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan masyarakat Kota Palembang dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan lainnya mulai terganggu kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

"Kabut asap yang menyelimuti Kota Palembang dan sekitarnya beberapa hari terakhir mulai mengganggu jadwal penerbangan dan aktivitas masyarakat terutama pada pagi hari," kata Kasi Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten BMKG Sumsel Indra Purnama.

Kabut asap yang menyelimuti udara Kota Palembang dan sekitarnya serta mulai mengganggu berbagai aktivitas masyarakat diprediksi masih terjadi hingga beberapa pekan ke depan karena awal musim hujan diprakirakan pada pertengahan Oktober 2014.

Kabut asap terutama yang menyelimuti Kota Palembang sekarang ini merupakan kiriman dari sejumlah daerah sekitar seperti dari Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Muara Enim.

Wilayah Sumatera Selatan akhir-akhir ini mulai terdeteksi cukup banyak titik panas (hotspot) yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan perkebunan.

Berdasarkan pantauan melalui satelit Terra dan Aqua pada Sepetmber 2014, wilayah provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota ini terdeteksi 20-30 titik api dengan jumlah terbanyak di tiga daerah seperti Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Muara Enim.

Jumlah titik api tersebut berpotensi meningkat, untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang lebih parah serta bisa mengganggu aktivitas penerbangan, pelayaran, kegiatan masyarakat, dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat perlu dilakukan berbagai langkah antisipasi.

Untuk mengetahui perkembangan jumlah titik api di provinsi ini agar tidak meluas dan menimbulkan berbagai masalah, pihaknya terus berupaya melakukan pengawasan secara intensif sehingga bisa dijadikan acuan pihak terkait untuk melakukan langkah-langkah penanggulangannya, kata Indra.

        Cari Solusi Tepat


Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota serta provinsi setempat untuk segera mengatasi kabut asap yang selalu menimbulkan masalah gangguan aktivitas dan kesehatan masyarakat pada setiap musim kemarau.

Kabut asap yang selalu terjadi pada setiap musim kemarau perlu segera dicarikan solusi terbaik, sehingga ke depan permasalahan serupa tidak terulang kembali.

Permasalahan itu terkesan dipelihara serta menjadi "proyek" tahunan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang menghabiskan dana APBD miliaran rupiah.

"Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah daerah seperti Kabupaten Musi Banyuasin, Musirawas, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Lahat dan Muara Enim yang asapnya menyebar hingga ke Kota Palembang, perlu segera diatasi oleh Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan bupati di kabupaten tersebut," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko.

Selain perlu mencari solusi yang tepat, diharapkan pula kepada pemerintah daerah bersikap tegas dengan memberikan sanksi berat kepada masyarakat, perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) yang terbukti secara sengaja melakukan pembakaran untuk membuka lahan baru atau peremajaan.

Sesuai ketentuan Undang Undang No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, diatur mengenai larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Atas kejahatan lingkungan hidup itu, sesuai UU tersebut setiap orang yang dengan sengaja membuka dan atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun serta denda paling banyak Rp10 miliar.

Untuk menegakkan aturan tersebut, aktivis Walhi Sumsel akan terus berupaya mendesak pemerintah daerah setempat dan aparat penegak hukum dengan melakukan pendekatan dan gerakan atau aksi massa secara damai.

Bahkan secara nasional saat ini Walhi sedang melakukan gugatan terhadap Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan beberapa Kepala Daerah di Indonesia atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pembiaran atas bencana kabut asap yang terjadi sepanjang 2013.

Gugatan tersebut sekarang ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan diharapkan dapat membuahkan hasil sesuai dengan tujuan perjuangan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Walhi, kata Hadi.

        Pidanakan Pembakar Lahan


Berdasarkan data satelit Terra dan Modis pada puncak musim kemarau September 2014, telah menyebabkan terjadi puluhan titik api (hotspot) yang menyebar di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan seperti Musi Banyuasin, Musirawas, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Lahat dan Kabupaten Muara Enim.

"Berdasarkan analisis peta yang kami lakukan, titik api tersebut didominasi berada di dalam izin konsesi perusahaan baik itu perkebunan maupun HTI," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko.

Atas temuan tersebut, menunjukkan buruknya tata kelola hutan dan lahan yang ada di provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota itu serta minimnya upaya penegakan hukum terhadap perusahaan perkebunan maupun HTI yang di dalam konsesi atau izinnya terdapat titik api.

Sesuai ketentuan UU No.18/2004 atas kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan perusahaan tersebut melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar pelakunya perlu dipidanakan.

Berdasarkan UU tersebut Pasal 48 ayat (1) setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahandengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Selanjutanya dalam Undang Undang No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup disebutkan bahwa Pasal 116 ayat (1) apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Pasal 116 ayat (2) apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Kemudian pelanggaran pidana dalam Undang Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan Pasal 50 ayat (3) setiap orang dilarang membakar hutan, selanjutnya Pasal 79 ayat (3) mengatur tentang tindak pidana kehutanan menyatakan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

Mengenai pertanggungjawaban tindak pidana kebakaran bisa merujuk pada Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, dalam Pasal 13 dan Pasal 15.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.4/2001 Pasal 13 menyatakan setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya

Sedangkan Pasal 15 menyatakan penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya enam bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Wali Kota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Dengan banyaknya aturan tersebut, menurut Direktur Walhi Sumsel, tidak ada alasan bagi aparat hukum dan pemerintah daerah untuk membiarkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang berakibat fatal terhadap lingkungan hidup dan kesehatan, serta masyarakat tidak lagi "dihantui" gangguan kabut asap setiap musim kemarau tiba pada kurun waktu April-Oktober.