"Wong Cilik" menyoal elpiji

id gas, gas elpiji

"Wong Cilik" menyoal elpiji

Gas elpiji (FOTO ANTARA)

Surabaya (ANTARA Sumsel) - Pagi itu, sang fajar perlahan menyingsing seolah menemani derap langkah Esti Maryati ditemani suaminya, Djoko Susanto dan menghantarkan mereka ke salah satu jalan protokol di Kota Kediri, Jawa Timur.

Perjalanan mereka bukan untuk membeli sepiring atau dua piring nasi khas Kota Tahu itu, melainkan segera memberhentikan gerobak dorongnya yang penuh aneka sayur kulupan, sambal pecel, sambal tumpang, termos berisi nasi putih, air mineral, dan dagangan lain. Sejak pukul 06.00 hingga pukul 21.00 WIB, pekerjaan itu dilakoni mereka setiap hari demi menyambung hidup.

Bagi sepasang suami istri itu, senyum dan pelayanan terbaik adalah kunci kesuksesan dalam menjual beragam dagangan yang didorongnya dari rumah hingga lokasi berjualan mereka.

Namun, akhir-akhir ini penjual nasi berusia lanjut tersebut tampak gundah gulana tatkala berbagai bahan kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga antara 10 persen hingga 15 persen, akibat beragam gejolak pasar.

Bisa dikatakan, sejak semester kedua tahun 2014 sejumlah barang mau tidak mau mengalami revisi harga akibat kebijakan pemerintah. Sebut saja, tanggal 1 September 2014 di mana tarif tenaga listrik (TTL) berlaku kebijakan baru.

Sejak momentum tersebut kenaikan TTL terjadi pada pelanggan industri, pemerintah dan rumah tangga. Ketentuan revisi TTL tersebut diyakini pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa menghemat anggaran subsidi negara sekitar Rp17,36 triliun.

Kebijakan berikutnya, terhitung pada tanggal 10 September 2014 ketika harga elpiji (gas cair) dengan ukuran tabung 12 kilogram ikut dinaikkan. Kenaikan harga elpiji Rp1.500 per Kilogram  (net Pertamina) dipicu turunnya nilai tukar Rupiah, sehingga menimbulkan kerugian semakin besar bagi  perusahaan minyak dan gas bumi itu.

Penyesuaian harga itu mengakibatkan harga jual elpiji 12 Kilogram di agen elpiji Pertamina di wilayah Jatim berada di kisaran Rp110.800-Rp114.200 per tabung. Bandrol harga di tingkat konsumen akan bervariasi karena disesuaikan dengan jarak suplai point. Sebelumnya, harga elpiji 12 Kilogram di agen berada di kisaran Rp89.300 hingga Rp92.800/tabung.

Hal itu pula menjadi latar belakang Esti untuk menaikkan harga jual nasinya antara 10-15 persen, walaupun di dalam sanubarinya ketentuan itu enggan dilakukannya. Kenaikan harga terhadap sejumlah menu makanan maupun minuman yang ditawarkan juga dipengaruhi makin tingginya harga beli elpiji 12 kilogram. Apalagi, sampai sekarang ia masih menggunakan elpiji bertabung warna biru itu.

 "Bagi kami kenaikan harga elpiji 12 kilogram sangat memberatkan karena harganya di luar kemampuan. Jadi ya kami terpaksa lebih memilih beli elpiji ukuran tiga kilogram, daripada usaha ini gulung tikar," kata Pemilik Warung Nasi Pecel dan Sambal Tumpang Khas Kediri "Bu Djoko", Esti Maryati.

Akan tetapi, dengan ada penyesuaian harga elpiji 12 Kilogram maka muncul niat baru dari lubuk hati perempuan beranak tiga itu untuk beralih menggunakan elpiji dengan tabung warna hijau melon.

Pemakaian elpiji berukuran tiga kilogram yang biasa disebut elpiji melon itu dinilai lebih efisien bagi operasionalnya. Patokan harga elpiji tiga Kilogram juga lebih terjangkau atau sekitar Rp16.500 per tabung dibandingkan harga elpiji 12 Kilogram yang kini menyentuh Rp130.000 per tabung pascakenaikan.

Meski demikian, pelanggannya yang setia datang ke tempat usahanya berukuran sekitar 2 meter x 2,5 meter itu mau memaklumi kenaikan harga tersebut. Apalagi, kini kondisi perekonomian masyarakat kelas menengah juga menunjukkan grafik positif, sehingga barang apa pun dengan harga berapapun akan mereka beli sesuai kebutuhan masing-masing.

Salah seorang konsumen di Warung Nasi Pecel dan Sambal Tumpang "Bu Djoko", Sukardjo mengatakan, dirinya bisa memahami dengan berbagai kenaikan harga di pasar perdagangan nasional termasuk di Kediri.

"Memang sekarang apa-apa naik, ya mungkin sudah waktunya harga itu direvisi. Yang penting saat mau beli barang, kualitas makanan atau produk tidak berkurang sehingga konsumen tetap puas ketika mengonsumsinya," ucap bapak empat orang anak itu.

"City Gas"

Di tempat berbeda Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya, Jamhadi, menyatakan, saat ini sejumlah pengusaha makanan minuman di Kota Pahlawan mulai terpengaruh kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang diberlakukan pemerintah per awal September ini. Bahkan, kenaikan harga gas nonsubsidi tidak hanya membuat kalangan rumah tangga mengeluh.

Dampak revisi harga tersebut juga dialami pelaku bisnis kuliner yang menggunakan elpiji 12 kilogram. Sejumlah pengusaha di sektor itu juga ancang-ancang mengalihkan pemakaian gasnya ke tabung tiga kilogram karena harganya dianggap lebih terjangkau.

Tahun ini, kenaikan harga elpiji, termasuk kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) mampu menghambat perkembangan bisnis makanan minuman di Surabaya. Apalagi kurang beberapa bulan lagi kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 diberlakukan.

Oleh sebab itu, ia menyayangkan, karena sampai sekarang peran Kadin Surabaya hanya sebatas penengah di tingkat pemerintah daerah. Sementara, ada beberapa hal yang perlu dicermati akibat kenaikan harga elpiji di pasar perdagangan nasional khususnya di Kota Pahlawan di antaranya berpengaruh kepada kenaikan harga barang dan jasa.

Apabila kenaikan harga elpiji hanya berkisar 10 persen, sesuai hitungan Kadin Surabaya maka idealnya kenaikan harga produk tidak jauh lebih tinggi dari angka 10 persen. Untuk itu, kalau para pengusaha makanan minuman di Surabaya mau menaikkan harga produknya seharusnya tidak melebihi standar kenaikan harga elpiji.

"Kalau harga barang dagangannya dinaikkan sampai 30 persen, itu jelas tidak wajar karena dapat menurunkan daya saing lokal," ucapnya.

Masih dikatakan Jamhadi, kebijakan pemerintah melalui Pertamina untuk menaikkan harga elpiji 12 kilogram juga berdampak bagi pengusaha dari kelas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Khususnya mereka yang bergerak di bidang makanan minuman.

Di sisi lain, secara umum kalangan pengusaha telah memahami bahwa subsidi untuk bahan bakar termasuk elpiji memang sudah waktunya dikurangi. Selain itu, memang selaiknya distribusi bahan bakar iru diarahkan kepada mereka yang berhak menerima.

Namun, bagi masyarakat perkotaan seperti di Surabaya saat ini sudah saatnya penggunaan gas untuk rumah tangga dialihkan dengan menggunakan jaringan gas yang langsung ke rumah-rumah "City Gas". Idealnya, mulai sekarang jaringan gas untuk rumah tangga bisa diperluas di Surabaya dan sekitarnya.

Melalui upaya "City Gas", konsumen rumah tangga yang selama ini menggunakan elpiji 12 Kilogram justru bisa mengurangi pengeluaran bulanannya. Misal, untuk konsumsi rumah tangga dengan anggota keluarga sebanyak empat hingga lima orang maka pengeluaran untuk gas selama satu bulan bisa ditekan hingga Rp36.000.

"Bandingkan saja, bila menggunakan elpiji 12 Kilogram yang kini harganya meningkat. Saat ini, dengan harga jual Rp6.100 per Kilogram berarti konsumen mengeluarkan biaya sekitar Rp72.000 untuk konsumsi gas selama 1,5 bulan," katanya.
    
Pengendalian Inflasi

Berbagai gejolak pasar hingga curahan hati Esti yang mewakili beban masyarakat di Indonnesia juga mendapat perhatian serius dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia Kantor Wilayah IV Jawa Timur. Saat ini tren penurunan harga komoditas pangan di luar harga elpiji 12 Kilogram akan menjadi penekan laju inflasi apabila pemerintah ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Akan tetapi, setelah kenaikan BBM memang ada komoditas yang mampu mendorong inflasi ke atas dan ada juga yang menjadi penekan ke bawah. Kemudian, kenaikan inflasi pasca kenaikan harga BBM tidak akan meningkat signifikan seperti yang diperkirakan sejumlah akademisi yakni mencapai dua persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, menyebutkan, secara nasional inflasi Agustus 2014 sebesar 3,99 persen (year-on-year). Untuk di Jatim, inflasi year-on-year (Agustus 2014 terhadap Agustus 2013) sebesar 3,53 persen. Angka tersebut lebih rendah daripada inflasi year on year bulan Juli 2014 sebesar 4,01 persen.

Hal itu sekaligus membuktikan bahwa Pemerintah Provinsi Jatim beserta jajaran terkait mampu mengendalikan inflasi. Khususnya, menekan gejolak kenaikan harga bahan pokok yang mampu memicu inflasi di provinsi itu. Kalau harga BBM dinaikkan pada akhir tahun ini maka cabai, gula pasir, dan bawang merah akan menjadi faktor penekan inflasi.

Apalagi sekarang harga cabai dan bawang sedang turun termasuk harga gula pasir. Ia meyakini, sepanjang September-November 2014 pemerintah mampu mengendalikan ketersediaan cabai maupun bawang. Periode musim kering saat ini juga diprediksi hanya sebentar mengingat produksi padi dan palawija masih besar. Sebaliknya, ketika musim kering panjang maka pemerintah masih punya cadangan beras.

Mengenai inflasi September 2014 diproyeksinya masih akan rendah karena sejumlah faktor pendongkrak inflasi sudah terealisasi. Di antaranya momentum Bulan Puasa Ramadhan dan Lebaran 1435 Hijriah dan Tahun Ajaran Baru 2014/2015 juga sudah dilalui.

"Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran juga dengan kenaikan harga elpiji 12 Kilogram karena kontribusinya kecil jika terjadi inflasi," tutur Suryamin.

Secara terpisah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IV Jatim, Dwi Pranoto mengamini, ekonomi Jatim masih akan bertumbuh dengan stabil di kisaran 6,40-6,80 persen secara year-on-year (YoY) pada tahun 2014. Pertumbuhan tersebut juga akan didukung dengan tingkat inflasi yang terjaga di level 4,5 persen plus minus satu persen pada tahun ini.

Perekonomian Jatim yang kondusif ini juga didukung oleh kinerja perbankan di Jatim yang masih tumbuh positif dengan angka pertumbuhan di atas nasional. Meski masih tumbuh cukup kuat, di sisi domestik, perekonomian Jatim dihadapkan pada konsumsi rumah tangga yang tertahan atau cenderung melambat.

Hal ini diindikasikan, antara lain oleh melambatnya indeks penjualan eceran. Sementara itu, konsumsi pemerintah juga diprediksi tumbuh lebih rendah akibat bergesernya pembayaran gaji ke-13 ke Triwulan III/2014 dan penghematan belanja kementerian dan lembaga.

Penghematan belanja pemerintah tersebut akan berdampak pada perlambatan ekonomi Jatim sebesar 0,1 persen. Kemudian, pertumbuhan investasi juga diperkirakan melambat khususnya investasi bangunan sebagai dampak kebijakan stabilisasi.

Dari berbagai hal itu, upaya pengendalian inflasi pada tahun 2014 masih menjadi tantangan bagi Jatim. Tekanan inflasi masih terjadi di sisi "volatile food" terkait dengan keterbatasan stok dan kelancaran distribusi. Sementara dari sisi "administered price", inflasi berpotensi terjadi karena didorong oleh kenaikan tarif listrik industri dan rumah tanggal per 1 Juli 2014.

Namun, secara nasional BI juga memprediksi perekonomian masih menghadapi tantangan yang belum akan surut di tahun 2014. Tantangan itu datang dari sisi global dan domestik. Dari sisi global, perekonomian global mulai membaik, meskipun dengan kecepatan yang moderat. Perbaikan terutama didorong oleh pulihnya negara maju, peningkatan volume perdagangan dunia dan perbaikan harga komoditas global.