Mempertahankan sawit sebagai komoditas unggulan dunia

id sawit, kelapa sawit

Mempertahankan sawit sebagai komoditas unggulan dunia

Ilustrasi - perkebunan kelapa sawit (FOTO ANTARA)

....Industri kelapa sawit adalah industri padat karya, tidak bisa memberikan upah tinggi, jangka panjang, risikonya besar termasuk adanya masalah lingkungan....
Bandung (ANTARA Sumsel) - Di saat hampir semua komoditas diimpor dari luar negeri mulai buah-buahan, jagung, beras hingga kedelai serta daging, ternyata masih ada komoditas Indonesia yang unggul di dunia yakni kelapa sawit.
      
"Di negeri ini komoditas ekspor yang nomer satu sawit, karet nomer dua, kakao nomer tiga. Pilar-pilar ekonomi ini tolong dibantu," ujar Sekjen Kementerian Pertanian, Hari Priyono saat membuka Indonesia "10th Palm Oil Conference (IPOC) and 2015 Price Outlook" yang diikuti 1.276 peserta dari 120 negara di Bandung, Kamis (27/11).

Industri kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar salah satunya dilihat dari pencapaian devisa ekspor Indonesia yang nilainya sebesar 15,8 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp175 triliun.

Menurut Hari, kelapa sawit merupakan industri yang sangat strategis karena dari 10,5 juta hektar kebun kelapa sawit 4,4 juta hektar diantaranya dimiliki oleh petani.

"Tidak benar kalau industri kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perkebunan besar," katanya.

Produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) saat ini mencapai 27,8 juta ton per tahun dan menyerap lima juta tenaga kerja.

"Isu internasional saat ini 'food and energy', sedangkan sawit penting untuk energi terbarukan," katanya.

Masalah sawit di Indonesia adalah produktivitas yang lebih rendah dari Malaysia, sedangkan peremajaan sawit juga masih lamban.

Sedangkan terkait isu lingkungan, dia mengatakan dari 200 perusahaan sawit baru 63 perusahaan yang mengikuti Indonesia Sustainibility Palm Oil (ISPO).

Oleh karena itu Kementerian Pertanian  mendorong agar lebih banyak perusahaan yang mengikuti ISPO.

 Ketua Panitia IPOC 2014, Mona Surya, mengharapkan konferensi yang diikuti 1.276 dari 20 negara ini dapat memberikan kontribusi demi perbaikan kelapa sawit.

"Persaingan dari komoditas minyak sawit dengan lainnya juga semakin ketat. Perusahaan dan pemerintah harus bekerjasama untuk meningkatkan daya saing industri kelapa sawit Indonesia," katanya.

Tuntutan pekerja
Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP Apindo) mengingatkan kepada pengusaha sawit agar berhati-hati terhadap kecenderungan tuntutan upah pekerja yang di luar kewajaran.

"Isu utama yang dihadapi oleh industri adalah tingginya ongkos tenaga kerja, upah minimum, regional dan sektoral, masalah alih daya dan jaminan sosial. Saya khawatir tuntutan pekerja sektor perkebunan juga akan meledak," kata Ketua DPP Apindo Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial, Hariyadi B Sukamdani.

Industri kelapa sawit adalah industri padat karya, tidak bisa memberikan upah tinggi, jangka panjang, risikonya besar termasuk adanya masalah lingkungan.

"Industri padat karya sekarang cukup terpukul. Kenaikan upah minimum mencapai 15 persen lebih. Kami khawatir nanti seperti manufaktur. Kalau mereka bisa tutup pabrik. Apakah sektor perkebunan akan menutup kebunnya ?," katanya.

Hariyadi mengatakan yang bisa mengendalikan upah pekerja adalah pemerintah, masalahnya kadang ada kepala daerah yang mempolitisir upah karena dia mau mengikuti Pilkada.

"Saya baru didatangi pengusaha mebel di Mojokerto, Jawa Timur. Mereka tidak  mampu membayar upah buruh yang naik 12 persen. Bupati-nya akan menaikkan lagi. Mereka Desember mau nutup pabriknya," katanya.

Hariyadi sangat mendukung program mekanisasi yang diterapkan di kebun kelapa sawit walau konsekwensinya akan mengurangi tenaga kerja.

Upah pada 2014 mengalami kenaikan sebesar 16,89 persen. Dengan kenaikan tersebut maka ongkos produksi yang harus ditanggung untuk upah adalah 31,24 persen hingga 32,74 persen.

Untuk 2015 bahkan akan naik 10 persen walau belum final karena masih ada serikat buruh yang belum menerima dan memaksa untuk melakukan perubahan.

Kampanye negatif
Kampanye negatif kelapa sawit Indonesia di negara-negara Eropa yang masih berlangsung hingga saat ini karena perang dagang dengan produk minyak goreng negara-negara tersebut.

"Eropa pasar yang besar untuk sawit Indonesia. Impor CPO Eropa dari negara lain lima juta metrik ton, sedangkan ekspor Indonesia 3,7 juta metrik ton per tahun," kata Duta Besar Indonesia di Kerajaan Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Eropa, Arif Havas Oegroseno.

Tantangan yang cukup besar adalah kampanye negatif dan kedutaan selalu melawannya.

"Persepsi negatif masih ada. Kita coba jawab sesuai isu. Kalau sawit dan orang utan. Kita jawab pemerintah lakukan kebijakan positif. Kemudian isu harimau dan masalah terkait lahan," katanya.

Arief mengatakan pihaknya selalu debat dengan pelaku kampanye negatif.

"Kalau kita terus menerus lihat isu, kita ndak pernah tahu masalahnya apa. Sebenarnya Uni Eropa itu punya jutaan petani sunflower dan soybean hasilnya vegetable oil. Persoalan dasarnya adalah dagang. Ada soal lingkungan hidup. Kita tak pungkiri," katanya.

Kalau industri bersatu dengan LSM, maka soal utama bukan lingkungan hidup tetapi soal dagang.

"Kita telah dihukum 180 juta euro. Petani yang hanya mempunyai satu hingga dua hektar telah mensubsidi ke Eropa. Petani kita 4,4 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia," katanya.

Dia mengatakan bunga matahari dan soybean di Eropa tidak bisa tumbuh saat musim dingin dan salju sedangkan kelapa sawit tumbuh di segala musim.

"Selama harga sawit masih lebih murah maka kita akan terus diganggu. Kita kampanye lahan sawit dikuasai petani. Kita juga telah membawa ke WTO, bawa ke pengadilan eropa dan kita menang," katanya.

Dia menegaskan diplomasi ekonomi tidak hanya trade, tetapi lewat pengadilan juga.

"Kita harus berani katakan masalahnya bukan orang utan, harimau. Tetapi soal harga. Kita KBRI Brussel bela ekosistem sawit. Kita bela petani kecil. Mereka bukan middle class," katanya.

Arief mengatakan pihaknya pernah membawa petani ke Eropa. "Mereka bukan orang kaya. Petani perlu cerita agar bisa dikenal. Selama ini yang digambarkan industri sawit dikuasai industri.