Bisnis batu bara diterpa badai

id batu bara

Bisnis batu bara diterpa badai

Operator alat berat sedang melakukan pengaturan muatan batu bara di kawasan Kertapati, Palembang. (ANTARA FOTO)

...Harga di pasaran saat ini hanya 25 hingga 30 dolar Amerika Serikat per ton...
Batu bara yang menjadi magnet luar biasa bagi kalangan pebisnis tambang pada pada 2010 hingga 2011, kini mengalami keterpurukan.

Pelemahan ekonomi di Eropa yang berimbas dengan Tiongkok dan India sejak 2012, tak ayal telah menggoncang bisnis batu bara di Sumatera Selatan dalam tiga tahun terakhir.

Awal tahun 2015 ini bisa dikatakan menjadi puncak keterpurukan, menyusul harga jual tidak sebanding dengan biaya produksi.

Siapa yang pernah menyangka harga minyak dunia berada di level terendah yakni di kisaran 40 hingga 50 dolar Amerika Serikat per barrel. Sementara, lumrah terjadi, harga batu bara selalu berada di bawah harga minyak mentah.

Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Sumatera Selatan Izromaita mengatakan di Palembang, Jumat (23/1), pemerintah telah menerima laporan dari beberapa kabupaten perihal penghentian ekplorasi oleh sejumlah pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Sekitar 100 pemilik IUP dari 236 yang ada telah menghentikan kegiatan karena tidak sanggup menanggung biaya produksi yang tinggi sejak harga batu bara merosot tajam satu tahun terakhir.

"Harga di pasaran saat ini hanya 25 hingga 30 dolar Amerika Serikat per ton atau sekitar Rp250 ribu hingga Rp300 ribu untuk jenis kalori rendah. Itu pun harga batu bara ketika sudah di atas tongkang," ucap Izromaita.

Menurut dia, kondisi ini demikian memberatkan pelaku bisnis untuk bertahan mengingat biaya untuk proses ekplorasi saja mencapai sekitar Rp180 ribu per ton. "Belum lagi biaya angkutan yang terbilang tidak murah karena infrastruktur di Sumsel terbilang belum memadai. Jadi sulit mendapatkan selisih lagi," ujar dia.

Ia menjelaskan, kenyataan ini membuat para pengusaha batu bara memutuskan stagnan untuk sementara waktu, sembari menanti perbaikan perekonomian dunia.

Namun, untuk pemilik IUP yang masa izin pemanfaatan lahannya telah habis maka pemerintah memutuskan untuk mencabut, karena tidak ada aktivitas.

"Saat ini perusahaan yang masih bertahan itu umumnya mereka yang memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli, dan jenis batu baranya berkalori tinggi," ungkap dia.

Produksi batu bara Sumsel bergerak naik dalam tujuh tahun terakhir seiring dengan semakin tingginya pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi di industri-industri rumahan hingga manufaktur Tiongkok.

Pergerakan mulai terasa sejak 2008 dengan membukukan 11,09 juta ton, kemudian 2009 mencetak 13,08 juta ton, dan 2010 memproduksi 15,34 juta ton.

Masa keemasan batu bara sejatinya terjadi pada periode 2010 hingga 2012, dengan mencetak produksi 20,02 juta ton pada 2011, kemudian 25,30 juta ton pada 2012. Setelah itu, produksi batu bara Sumsel mengalami perlambatan seiring dengan penurunan permintaan dari luar negeri.

Pada 2013, tepatnya ketika krisis ekonomi global berlangsung terjadi penurunan menjadi 23,98 juta ton, kemudian pada 2014 nisbi sama yakni dikisaran 24 juta ton.

Kenaikan produksi ini bukan karena penambahan produksi secara nyata di lapangan tapi berkat pembenahan tata niaga yang dilakukan Kementerian ESDM bekerja sama dengan KPK pada akhir tahun 2014 yang menghitung ulang jumlah produksi dari pintu keluar perdagangan luar negeri.

    
                               Royalti harus naik

Di tengah penurunan produksi itu, Provinsi Sumatera Selatan diminta Pemerintah Pusat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak, yakni royalti sektor pertambangan hingga 67 persen dari sebelumnya.

Kepala Seksi Penerimaan Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan Aries Syafrizal dalam kesempatan yang sama mengemukakan, permintaan ini terbilang sulit dilaksanakan mengingat produksi batu bara sedang lesu akibat anjloknya harga di pasaran dunia.

Ia menjelaskan, sementara penerimaan negara dari sisi royalti tersebut sangat ditentukan jumlah produksi batu bara yang menjadi faktor pengalinya.

"Jika persentase pengalinya tidak berubah yakni hanya berkisar tiga hingga tujuh persen untuk setiap ton, maka akan sulit terpenuhi," kata Aries.

Namun, ia melanjutkan, keinginan ini mungkin saja tercapai asalkan Pemerintah Pusat menambah persentase pembagian pajak ke daerah yang selama ini hanya 16 persen.

"Informasi yang saya dengar untuk royalti daerah akan ditingkatkan sembilan hingga 13 persen, namun ini masih wacana mengingat kondisi ekonomi sedang lesu," tutur Aries.

Berdasarkan data di Distamben dan Energi Sumsel diketahui jumlah royalti batu bara menunjukkan grafik yang meningkat setiap tahunnya. Pada 2010 tercatat Rp81,11 miliar, kemudian melesat menjadi Rp123,72 miliar pada 2011, dan Rp142,31 miliar pada 2012 ketika batu bara memasuki masa keemasan.

Pada 2013, royalti batu bara melorot tajam menjadi Rp101,56 miliar akibat pelemahan ekonomi global, sebelum akhirnya terdokrak kembali di tahun 2014 menjadi Rp127,20 miliar.

Menurut Aries, grafik yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan ini lantaran Kementerian ESDM membenahi tata kelola bekerja sama dengan KPK.

"Tahun 2014 lalu ada penemuan selisih sekitar satu juta ton batu bara berkat perbaikan tata kelola. Namun, harus disadari bahwa produksi batu baru menurun setiap tahun," jelasnya.

Sumsel sebagai provinsi tempat dilaksanakannya aktivitas penambangan mendapatkan pembagian 16 persen dari Pemerintah Pusat.

Pada 2015, pemerintah Joko Widodo menargetkan capaian pajak sebesar Rp205,02 miliar, terdiri atas landrent Rp10,29 miliar dan royalti Rp194,73 miliar. Target ini meningkat 67 persen dari realisasi 2014 yakni sebesar Rp127,20 miliar.

    
                                Garap pasar dalam negeri

Asosiasi Pertambangan Batubara Sumatera Selatan mengharapkan pemerintah tak hanya sekadar memikirkan kenaikan royalti, tapi juga memberikan solusi atas terpuruknya bisnis batu bara.

Sekretaris Jenderal Persatuan Tambang Sumsel Sutarman di Palembang, Jumat (30/1), mengatakan sudah saatnya pemerintah memperluas pasar dalam negeri sembari tetap memantapkan hati untuk mendirikan industri hilirisasi batu bara.

Menurut dia, sejauh ini pemerintah sudah menjanjikan penyerapan batu bara dari pengusaha lokal untuk sumber energi PLN dan perusahaan milik negara lainnya.

"Pembicaraan sudah dilakukan antara sejumlah asosiasi tambang dan pemerintah, mungkin tidak berapa lama lagi direalisasikan. Harapannya tidak hanya PLN dan PT Semen Baturaja, tapi juga industri-industri besar di Jawa jadi tidak mesti ekspor," tukas Sutarman.

Ia mengemukakan, bisnis batu bara mengalami penurunan sejak 2012 akibat pelemahan ekonomi global. Puncaknya terjadi di akhir 2014 seiring dengan anjloknya harga minyak mentah dikisaran 40-50 dolar AS per barrel.

Kondisi ini sangat berpengaruh pada puluhan perusahaan tambang di Sumsel, sehingga hanya 40 persen yang masih bertahan, ujarnya.

Mereka yang bertahan ini merupakan perusahaan yang memiliki kontrak kerja sama jangka panjang dengan pembeli di luar negeri lantaran kandungan kalori batu bara yang tinggi.

"Sejauh ini para pengusaha masih optimistis bahwa perekonomian akan membaik, tapi alangkah baiknya masa krisis ini dijadikan kesempatan untuk mengubah cara pandang yakni bagaimana caranya agar batu bara tidak diekspor lagi tapi digunakan sendiri," tukasnya.