Legenda cari jodoh di Pulau Kemaro

id pulau kemaro, kisah pangeran cina

Legenda cari jodoh di Pulau Kemaro

Pulau Kemaro yang lokasinya berada di tengah Sungai Musi Palembang, Sumatera Selatan (Foto Antarasumsel.com/Nila Fuadi)

....Konon cerita, setelah pangeran dari negeri Tiongkok dan putri Siti Fatiman mencebur ke Sungai Musi, tidak pernah muncul lagi ke permukaan hingga menjelmalah sebuah pulau kecil yang dikenal dengan Pulau Kemaro....
Legenda atau cerita ajang mencari jodoh pada momen perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro Kota Palembang, Sumatera Selatan, hingga sekarang masih dipercayai oleh sebagian warga keturunan Tionghoa.

Hal tersebut terbukti setiap tahun perayaan Cap Go Meh yang dipusatkan di pulau berlokasi di tengah Sungai Musi itu, warga Tionghoa dari penjuru Tanah Air, bahkan dari sejumlah negara berduyun-duyun datang ke sana, khususnya kaum muda-mudi.

"Mereka berharap akan mendapat keberuntungan bertemu jodoh," kata Ketua Panitia Penyelenggara Cap Go Meh Candra Husin di Palembang, Selasa (3/3).

Menurut dia, tradisi mencari jodoh di balik perayaan Cap Go Meh telah berlangsung sejak 300 tahun silam. Warga Tionghoa, khususnya kaum muda-mudi, meyakini dengan perayaan keagamaan di Klenteng Hok Ceng Bio, Pulau Kemaro, akan dipertemukan jodoh.

Di kelenteng yang dapat ditempuh dengan menyeberang menggunakan sampan motor (sampan bermesin, red.) dari dermaga PT Pusri Palembang dalam waktu tempuh lima menit sudah sampai di Pulau Kemaro. Setibanya di pulau itu, mereka melakukan ritual sembahyang dan memohon kepada Sang Pencipta.

"Biasanya pemerintah setempat setiap perayaan Cap Go Meh menyediakan alat transfortasi air itu bagi para pengunjung secara gratis," kata Candra.

Sementara itu, dari pemerintah provinsi mempersiapkan beberapa tongkang, yakni sampan besar yang ditarik dengan kapal motor sebagai sarana transportasi menuju Pulau Kemaro mulai Selasa malam difokuskan pada dua titik, yaitu pelabuhan PT Pusri dan dermaga Intirub.

Arus lalu lintas tidak terlalu padat mengingat jumlah pengunjung akan meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 70.000 orang pada tahun 2014.

Candra menjelaskan bahwa tradisi perayaan Cap Go Meh di Sumatera Selatan sama halnya dengan di daratan Tiongkok adalah hari muda-mudi cari jodoh. Pada zaman dahulu, anak perempuan tidak boleh ke luar rumah, hanya saat perayaan Cap Go Meh baru boleh bertemu dengan anak laki-laki untuk saling mengenal.

"Dengan adanya kisah atau cerita untuk peruntukan jodoh, setiap perayaan Cap Go Meh, datang ke sini memohon supaya dipertemukan jodoh," kata Susanto, pengunjung dari Jambi.

Menurut Diah, pengunjung dari Palembang, di Pulau Kemaro berdasarkan cerita ada pohon cinta, kalau menulis nama pria idaman, hubungannya akan menjadi langgeng dan menjadi jodoh.

Konon, jika pasangan muda-mudi yang sedang menjalin hubungan kasih mengukir nama mereka di pohon itu, cinta mereka akan berlanjut sampai ke pelaminan. Tidak pelak lagi, pulau ini disebut juga Pulau Jodoh.

Di Pulau Kemaro terdapat pohon cinta yang diyakini masyarakat Tionghoa sebagai pohon jodoh dengan menuliskan nama calon pasangannya.



Datang Berniaga

Menurut legenda, Tan Bu An adalah seorang putra raja dari negeri Tiongkok datang ke Palembang untuk berniaga. Putra Raja Tiongkok itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri Sriwijaya setelah mendapat izin dari Raja Sriwijaya dengan syarat harus menyerahkan sebagian penghasilannya.

Tan Bun An ternyata menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya dan setiap minggu menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Raja Sriwijaya sehingga suatu ketika bertemu dengan putri raja, Siti Fatimah, di istana. Sejak itu, pangeran dari negeri Tirai Bambu ini jatuh cinta. Begitu pula sebaliknya, Siti Fatimah. Mereka menjalin hubungan cinta.

Selanjutnya, beberapa waktu kemudian Tan Bun An berniat menikahi karena merasa cocok dengan Siti Fatimah. Raja Sriwijaya merestuinya dengan syarat sang pangeran harus menyediakan sembilan guci berisi emas.

Menurut Candra Husin, alkisah utusannya dari negeri Tiongkok telah datang ke Palembang membawa pesanan dari pangeran berupa sembilan guci emas. Setibanya di dermaga, Tan Bun An segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci tersebut. Setelah diperiksa isinya satu per satu, ternyata hanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.

Karena kesal, Tan Bun An melemparkan guci satu per satu ke sungai. Tiba giliran terakhir guci tersebut terjatuh dan pecah sehingga batangan emas berserakan, ternyata di bagian bawah sawi terdapat emas batangan.

Sang pangeran pun mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci berisi emas yang telah dibuang tersebut. Karena orang yang sangat dicintainya tidak juga muncul, akhirnya Siti Fatimah ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari negeri Tiongkok itu.

Konon cerita, setelah pangeran dari negeri Tiongkok dan putri Siti Fatiman mencebur ke Sungai Musi, tidak pernah muncul lagi ke permukaan hingga menjelmalah sebuah pulau kecil yang dikenal dengan Pulau Kemaro. Kemarau artinya walaupun air sungai naik atau banjir besar sekalipun, pulau tersebut tetap mengapung.

Menurut Candra, setiap tahun perayaan Cap Go Meh, tidak kurang dari 70.000 pengunjung yang sebagian besar warga keturunan Tionghoa untuk merayakannya.

Terlebih lagi, kata dia, di Pulau Kemaro selain kelenteng, juga terdapat pagoda setinggi 45 meter menjadi destinasi wisata yang dicanangkan pemerintah sebagai ajang promosi Kota Palembang.

Tradisi serta legenda inilah menjadikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Kota Palembang maupun dari penjuru Tanah Air, bahkan luar negeri, seperti dari Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, untuk merayakan Cap Go Meh di Pulau Kemaro.