Mendorong profesionalisme ISL melalui dispilin bayar pajak

id isl 2015, pajak

Mendorong profesionalisme ISL melalui dispilin bayar pajak

Indonesia Super League (ANTARA FOTO)

...semangat untuk membayar pajak itu sejatinya sudah ada di dalam diri, saya peduli dengan negara ini, ya, artinya harus peduli juga dengan kewajiban membayar pajak...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Profesi sebagai pesepak bola profesional di belahan dunia mana pun, tak terkecuali di Indonesia, saat ini telah memberikan kesejahteraan dari sisi finansial.

Meski sepak bola Tanah Air belum lepas dari persoalan tunggakan pembayaran gaji, sejatinya para perumput lapangan hijau ini telah meraup uang ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk kontrak per musim di kompetisi kasta tertinggi, Indonesia Super League (ISL).

Lantas menjadi suatu yang mengelitik ketika Badan Olahraga Profesional Indonesia menyatakan pada Februari lalu, seusai dengan verifikasi tahap pertama, terdapat 10 klub yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Jika klubnya saja tidak punya, apalagi pemainnya.

Pemain Persib Bandung Firman Utina memiliki jawaban sendiri terkait dengan rendahnya kepedulian kalangan sepak bola profesional Tanah Air terhadap kewajiban membayar pajak ini.

"Benar adanya bahwa sebagian besar pesepak bola terbilang tidak peduli terhadap pajak penghasilannya (PPh), tetapi hal ini terjadi karena klub juga. Pemain merasa semua sudah diurus klub. Namun, kenyataannya masih banyak klub yang tidak punya NPWP," ujar Firman yang dihubungi Antara dari Palembang, Minggu.

Ia mengungkapkan bahwa setiap penandatanganan kontrak kerja per musim, para pemain hanya menerima salinan dokumen kontrak tanpa disertai dokumen pembayaran pajak.

Karena ketidakpahaman, menurut Firman, para pemain tidak menggangap ini suatu yang janggal. Asalkan nilainya sama dengan yang ditandatangani, tidak ada suatu yang perlu dipersoalkan lagi karena merasa poin utama sudah terpenuhi.

"Tidak ada yang patut dicurigai, nilai sama dengan yang ditandatangani. Jika nilai Rp1 miliar, yang ditandatangani juga Rp1 miliar. Saya tidak tahu apakah ada klub yang memanipulasi demi mengurangi pajak. Akan tetapi, yang jelas pemain menyerahkan semua kepada pihak klub," ujar pesepakbola berusia 34 tahun ini.

Firman mulai memperkuat klub profesional sejak 1999, yakni diawali dengan memperkuat Persma Manado, saat ini dia masih menjadi pemain profesional dengan menjadi skuat Persib Bandung sejak 2012.

Selama rentan 15 tahun merumput di lapangan hijau, mantan Kapten Tim Nasional ini hanya menyebut dua klub yang pernah memberikan surat pemotongan PPh.

"Saat di Pelita Jaya (2008--2010) dan Persija (2010), diberikan laporan pajak penghasilan. Itu pun lantaran saya yang meminta. Namun, ketika di Sriwijaya FC (2010--2012), sudah minta tetapi tidak diberikan, mungkin karena saya sendiri dari seluruh pemain yang minta," kata pesepak bola asal Gorontalo ini.

Anggota Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) itu tidak menyangkal kepedulian pemain bola terhadap pentingnya membayar pajak terbilang rendah. Keadaan ini pun diperkeruh dengan tata kelola klub yang berantakan dan tidak transparan.

Gelandang Persib itu tidak menampik jika peluang untuk mengemplang pajak itu sangat terbuka karena tidak ada pengecekan dari pemain.

"Biasanya nilai kontrak itu dinyatakan sudah dipotong pajak. Akan tetapi, untuk beberapa klub memang memberikan laporannya sehingga tidak ada keraguan. Namun, bagi yang tidak memberikan, bisa saja tidak dibayarkan ke negara," ujar pemain yang sudah memperkuat tim nasional sejak 2000 itu.

Atas dasar kepedulian terhadap negara, Firman mengaku kerap bolak-balik menagih kepada klub meminta salinan surat pemotongan PPh.

Kini, bersama Maung Bandung, julukan Persib Bandung, Firman merasa lega karena setiap tahun diberikan bukti dokumen pembayaran pajak penghasilan.

"Saya membela Indonesia, berjuang mati-matian dalam pertandingan untuk nama Indonesia. Jadi, semangat untuk membayar pajak itu sejatinya sudah ada di dalam diri, saya peduli dengan negara ini, ya, artinya harus peduli juga dengan kewajiban membayar pajak," ujar pemain yang andil dalam kesuksesan Indonesia menembus final Piala AFF 2010 itu.

Pengalaman berbeda seputar pajak juga dialami Rochy Putiray, pesepak bola yang dikenal kerap tampil eksentrik di dalam dan di luar lapangan.

Mantan gelandang Timnas yang pernah perumput di Hong Kong bersama Happy Valley, South China, dan Kithee SC ini menyatakan baru memahami mengenai pajak setelah bermain di luar Liga Indonesia.

Kala itu, ungkap dia, klub memberikan bukti pembayaran pajak penghasilan, kemudian dia juga diminta melaporkannya ke kantor pajak setempat.

"Saat main di luar negeri, setiap akhir musim saya mendapat bukti pemotongan pajak penghasilan. Saya baru tahu pas main di Hong Kong," kata Rochy.

                                                                              Potensi
Kompetisi sepak bola profesional Indonesia sudah berlangsung sejak beberapa dekade lalu, mulai Galatama pada tahun 1979, Liga Indonesia pada tahun 1994, Liga Super Indonesia pada tahun 2008, dan akhirnya Indonesia Super League pada tahun 2013.

Dalam rentan waktu itu, sangat dinyakini bahwa miliar rupiah penerimaan negara tidak dapat dikumpulkan. Padahal, kompetisi sepak bola di Indonesia menjadi yang terbesar di kawasan Asia, bahkan dunia jika dilihat dari sisi jumlah pengemar.

Apakah pengelola liga dan pemilik klub yang lalai atau dari Ditjen Pajak yang tidak mengendus potensi pajak di sektor ini? Pada akhirnya publik mengetahui betapa buruknya kompetisi profesional ini dikelola karena selama bertahun-tahun telah mengabaikan kewajiban terhadap negara.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Samon Jaya mengatakan bahwa Ditjen Pajak memperkirakan terdapat sekitar Rp500 juta potensi pajak PPh pada setiap klub yang berlaga di Liga Super Indonesia.

Ditjen Pajak menyatakan akan mengejar pembayaran pajak dari tiap-tiap klub yang tidak tertagih selama ini.

"Dalam pajak tidak ada pemutihan karena ada masa kedaluwarsa selama lima tahun, sementara untuk kasus yang terkait dengan pidana bisa untuk masa 10 tahun. Jika pemain dan klub menyatakan buta pajak, saya rasa ini upaya mencari pembenaran karena pada era keterbukaan informasi saat ini terkait dengan pajak dapat di akses di mana-mana," kata dia.

Namun, untuk klub yang laporan keuangannya dinyatakan rugi, kata dia, tidak akan dikenai pajak. Meski demikian, Ditjen pajak tidak serta-merta mempercayai loporan tahunan klub karena akan menguji informasi tersebut.

"Sejauh ini, sudah ada klub ISL yang diwajibkan membayar tunggakan pajak hingga miliaran rupiah, dan ada juga klub yang ketahuan tidak membayarkan PPh pemain meski sudah memotong dalam kontrak kerjanya. Mengenai klubnya apa, tidak bisa disebutkan karena terkait dengan aturan," kata Samon.

Pada verifikasi tahap pertama (sebelum penundaan kompetisi menjadi 4 April 2015), Badan Olahraga Profesional Indonesia menyatakan ada 10 klub LSI yang tidak memiliki NPWP.

Kenyataan ini sungguh mencengangkan mengingat setiap kontestan Liga Super Indonesia sudah diwajibkan dikelola perseroan terbatas (PT) pada tahun 2011.

Sementara itu, informasi terbaru, BOPI menyatakan hanya meloloskan 11 klub untuk mengikuti kompetisi ISL 2015 yang kickoff direncanakan 4 April, dan tujuh klub lain masih terganjal dokumen prinsipil, salah satunya bukti pembayaran pajak.

"Pada tahun ini, pada akhir Maret ini, klub diwajibkan menyerahkan berkas 1721-A1 (bukti pemotongan PPh) kepada pemainnya," kata Samon.

    
                                                       Belajar dari Kasus Messi
Persoalan pelalaian pembayaran pajak di kancah sepak bola profesional yang menyangkut atlet, klub, bahkan penyelenggara liga ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia.

Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center Darussalam mengatakan bahwa Indonesia sepatutnya belajar dari sejumlah kasus internasional yang menimpa atlet sepak bola, pelatih, maupun klub dengan denda serta hukuman yang tidak main-main.

Ia mencontohkan Lionel Messi (striker Barcelona) ketika menghadapi tuntutan penggelapan pajak oleh otoritas pajak Spanyol pada tahun 2014.

Messi dianggap tidak melaporkan penghasilannya dari Image Rights yang dikelolanya melalui perusahaan yang dimiliki di Uruguay dan Belize.

Atas tuduhan tersebut, Messi diancam hukuman penjara selama enam tahun, dan pada akhirnya menyelesaikan kasus tersebut dengan bersedia membayar utang kekurangan pajak sebesar 6.000.000 dolar AS atau sekitar Rp72 miliar.

Kemudian, kasus di Jerman yang menjerat petinggi klub Bayern Munich Uli Hoeness lantaran tidak melaporkan aset yang dimilikinya di Bank Swiss dalam SPT PPh Orang Pribadi kepada otoritas pajak Jerman.

"Rugi atau tidak rugi, setiap klub wajib melapor pajak. Sebagai badan hukum pemberi upah, mereka juga wajib memungut potongan PPh kepada pemain. Lalu, kewajiban pemain adalah melaporkan pajak (SPT) setiap tahun (akhir Maret)," kata dosen Universitas Indonesia ini.

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menetapkan pesepak bola sebagai pegawai yang dipungut tarif PPh Orang Pribadi dengan besaran tarif yang disesuaikan dengan penghasilan kena pajak dalam skema 5--30 persen.

Bagi klub, terdapat konsekuensi atas penghasilan yang diberikan kepada pesepak bola tersebut, yaitu penghasilan yang dibayarkan dapat menjadi biaya atau pengurang dalam menghitung PPh Badan atau penghasilan yang diberikan tidak menjadi biaya atau pengurang dalam menghitung kewajiban PPh Badan.

Kini, di tengah semangat pemerintahan Presiden Joko Widodo menggenjot penerimaan pajak meningkat hingga 36,91 persen untuk menunjang APBN, dan mulai bertaringnya Badan Olahraga Profesional Indonesia, Ditjen Pajak tidak mau kehilangan momentum.

Jika BOPI siap tidak meloloskan klub yang enggan melunasi kewajiban pajaknya, Ditjen Pajak pun siap dengan tagihan utangnya karena sejatinya tidak ada pemutihan dalam pajak.