Prosesi jumat agung dan wisata religi

id jumat agung, larantuka

Prosesi jumat agung dan wisata religi

Ilustrasi---Misa Pra Paskah di Gereja Katedral Jakarta ((ANTARA/Paramayuda))

Prosesi Jumat Agung di kota kecil Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, di bawah kaki Gunung Ile Mandiri, wilayah Keuskupan Larantuka dilaksanakan setiap tahun, sejak masuknya agama Katolik ke daerah itu.

Ritual nan sakral itu dari waktu ke waktu menyedot, bahkan dipadati pengunjung, berasal dari berbagai daerah, provinsi, bahkan belahan dunia, sehingga lama-kelamaan sebagian kecil orang menganggap ziarah rohani yang mereka lakukan melewati laut itu, sebagai wisata religi.

Pewaris Raja Kedua Kerajaan Larantuka Don Emanuel Patigolo DVG mengatakan prosesi Jumat Agung di Kota Larantuka merupakan warisan Portugis yang sudah berlangsung hampir lebih dari 500 tahun, ketika bangsa kulit putih itu, pertama kali menyebarkan agama Katolik dan mencari kayu cendana di wilayah setempat pada abad ke-17.

Prosesi itu, katanya, berlangsung sakral yang diawali dengan perarakan arca bayi Yesus (Tuan Meninu) melalui laut pada Jumat sekitar pukul 10.00 Wita dari Pantai Rewindo menuju Pantai Kuce di depan istana Raja Larantuka.

Setelah arca Tuan Meninu diletakan di armida (perhentian) di pohon sirih, saat menjelang petang arca Tuan Meninu diarak bersama arca Tuan Ma (Bunda Maria) menuju Katedral Larantuka di kaki Gunung (Ile) Mandiri.

Saat malam menjelang, arca Tuan Ma dan Tuan Meninu diarak keliling Kota Larantuka dalam hening yang dalam oleh lautan peziarah. Mereka mengikuti ritual keagamaan yang tetap abadi di Kota Larantuka itu.

"Jadi diawali dengan perarakan arca Yesus (Tuan Meninu) lewat laut dari Kota Rewindo menuju Pante Kuce di depan Istana Raja Larantuka. Inilah awal dari prosesi Jumat Agung yang tersohor itu dan bertahan hingga lebih dari 500 tahun," katanya  
    
Ia mengatakan prosesi lewat laut itu, untuk memaknai Yesus sebagai inti, sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Doloroso).

Prosesi laut dengan melawan arus kencang di selat sempit Gonzalo, antara Pulau Adonara dan Flores Timur daratan itu, akan berakhir di Pante Kuce, depan Istana Raja Larantuka untuk selanjutnya diarak guna ditakhtakan di armida Tuan Meninu di pohon sirih.

Pada sore harinya, patung Tuan Ma yang telah dinobatkan sebagai pelindung Kota Reinha Rosari--sebutan khas untuk Kota Larantuka--diarak dari kapela menuju gereja katedral di jantung Kota Larantuka.

Setelah Patung Tuan Ma dan Tuan Meninu tiba di katedral, barulah dilanjutkan dengan prosesi mengelilingi Kota Larantuka dengan menyinggahi delapan armida (perhentian), yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida Santo Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida Santo Antonius, Armida Kuce, dan Armida Lohayong.

Urutan armida itu menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke keallahan-Nya (Missericordia), kehidupan manusia-Nya dari masa bayi (Tuan Meninu), masa remaja (Santo Philipus) hingga masa penderitaan-Nya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.

Prosesi tersebut diperkirakan berakhir pada Jumat tengah malam atau Sabtu dini hari, karena diikuti ribuan peziarah Katolik yang datang dari berbagai daerah di NTT, nusantara, dan mancanegara.

    
                                                                      Tradisi  
Ketua Konferia Keuskupan Larantuka Yohanes Fernandez Aikoli mengatakan dalam tradisi gereja Katolik, sehari sebelum Jumat Agung, atau pada Kamis Putih merupakan hari untuk melakukan kegiatan "tikam turo" atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute prosesi Jumat Agung pada keesokan harinya.

Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan sebutan "Kota Reinha Rosari" itu, hening karena sedang melakukan kegiatan "tikan turo" oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan) sesuai promesanya (nasar).

Ketika itu juga, katanya, aktivitas di Kapela Tuan Ma dimulai dengan upacara "Muda Tuan" (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) oleh petugas konferia (suatu badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah.

Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi dengan busana perkabungan, berupa sehelai mantel warna hitam, ungu, atau beludru biru.

Permandian dilakukan oleh tim yang mewakili 13 suku di Larantuka sekaligus anggota konfreria, organisasi religius yang berdiri sejak abad ke-16 untuk mengawal tradisi keimanan kristiani di Larantuka.

Permandian berlangsung penuh haru. Mereka juga telah disumpah di bawah sumpah Kristus untuk merahasiakan pengalaman yang dialami sepanjang ritual.

Mereka sudah disumpah dengan Tuhan yang merupakan rahasia iman bahwa tidak disampaikan kepada siapa pun sampai turun temurun.

Usai ritual permandian pada Kamis malam, Patung Tuan Ma dan Tuan Ana dikeluarkan dari ruang klausur.

Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa, menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan mereka dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus, melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).

Sesuai tradisi, keturunan Raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang membuka pintu Kapela Tuan Ma di bibir Pantai Larantuka.

Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara, serta mancanegara mulai melakukan kegiatan "cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana" dalam suasana hening dan sakral.

Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi berbeda-beda pula.

        
                                                            Dari Portugis 
Jhoni Aliandoe, salah seorang Suku Semana Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor, dan Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi daerah otonom baru.

Kala itu, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut cerita legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.

Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis, dan suatu badan organisasi yang disebut konferia, mengadakan politik kawin-mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.

Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.

Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi "Kota Reinha" dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.

Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan "Reinha Rosari".

Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.

Kini sudah lima abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap melekat dalam sanubari umat Katolik setempat. Hal itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, perkumpulan persaudaraan rasul awam (konferia), dan semua Suku Semana, serta para Kakang (Kakang Lewo Pulo), dan para Pou (Suku Lema).

Ritual yang terus dilakukan setiap tahun hingga saat ini, adalah penghayatan agama popular seputar "Semana Santa" dan prosesi Jumat Agung atau "Sesta Vera".

Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih, dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa, dalam setiap kehidupannya.

Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa itu, menggunakan bahasa Portugis dan Latin. Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan suci.

Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, silih dosa, dan tobat yang dimulai dari Rabu atau disebut Rabu Trewa sehari menjelang Kamis Putih.

Hari ini merupakan hari penutupan Semana Santa. Selain doa dan mendaras kitab suci di kapela-kapela, pada sore hari diadakan lamentasi (Ratapan Nabi Yeremia) di Katedral Larantuka.

Lamentasi dilakukan menurut ritus Romawi zaman dahulu. Pada saat itu, Larantuka menjadi "Kota Berkabung", sunyi-senyap, tenang, jauh dari ingar-bingar, konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.

Setelah sepanjang hari Jumat berlangsung prosesi Jumat Agung, umat memasuki hari Sabtu yang disebut sebagai Sabtu Alleluya.

Umat Katolik mengarak kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari gereja katedral untuk disemayamkan di kapela masing-masing.

Demikian pula halnya dengan patung Tuan Missericordia dan Tuan Meninu, diarak dari armida masing-masing kembali ke kapelanya.

Ketika tibanya Minggu Paskah, dilangsungkan upacara ekaristi di gereja masing-masing.

Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke Kapela Pantekebis. Setelah pentahtaan Maria Alleluya, dilakukan upacara yang disebut "Sera Punto Dama" dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru.

Tradisi keagamaan di Flores Timur yang sudah berlangsung ratusan tahun itu, sampai sekarang masih tetap terus dipertahankan.

Peristiwa keagamaan umat Katolik setempat terkait dengan rangkaian perayaan Paskah itu, selain tradisi ritual secara rutin, juga bentuk lain dari promosi wisata religius, ketika pariwisata menjadi sektor unggulan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.