Mendorong masyarakat mau berinvestasi

id mendorong masyarakat berinvestasi, masyarakat mau berinvestasi, investasi, produk jas keuangan, pengguna produk jasa keuangan

Mendorong masyarakat mau berinvestasi

Ilustrasi (FOTO antarasumsel.com/12)

....Setelah tahu dan melek jasa keuangan, harapannya masyarakat mau membeli (finansial inklusi) produk, sehingga menumbuhkan industri jasa keuangan karena adanya suatu permintaan....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Penggunaan produk jasa keuangan di Indonesia terbilang masih rendah dengan mencatat angka 28,4 persen untuk strata sosial terbawah, dan 51,6 persen untuk kelompok masyarakat teratas berdasarkan hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Agus Sugiarto di Palembang, Selasa (19/5), mengatakan keadaan ini dilatari oleh rendahnya literasi keuangan masyarakat mengenai produk-produk dalam industri jasa keuangan.

OJK mencatat berdasarkan hasil survei 2013, perbankan berada pada peringkat teratas dalam literasi keuangan mayarakat yakni 21,8 persen (terdapat 22 orang dalam seratus orang), disusul asuransi 17,08 persen, pegadaian 14,85 persen, pembiayaan 9,8 persen, dana pensiun 7,13 persen, dan pasar modal 3,7 persen.

Sementara dalam realisasinya, perbankan masih mendominasi dengan 57,28 persen, diikuti asuransi 11,81 persen dan pembiayaan 6,33 persen, pegadaian 5,04 persen, dana pensiun 1,53 persen, dan pasar modal 0,11 persen.

"Ini yang mendasari OJK fokus meningkatkan literasi keuangan masyarakat karena penggunaan produk jasa keuangan (finansial inklusi) rendah sekali. Mengapa finansial inklusi ini menjadi demikian penting ? karena berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan yang erat dengan kemakmuran suatu negara," tutur Agus, seusai menjadi pembicara pada acara peningkatan literasi keuangan bagi guru se-Sumsel.

Berdasarkan data ini, maka OJK menilai pemahaman mengenai jasa keuangan ini mutlak diberikan ke masyarakat untuk menciptakan finansial inklusif.

Meski penggunaan jasa perbankan telah mencapai 57,28 persen tapi berdasarkan data Bank Dunia diketahui bahwa akses penduduk Indonesia terhadap bank masih tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara tetangga yakni hanya 19,6 persen.

Sebagai pembanding, Malaysia 66,7 persen, Filipina 26,5 pesen, Thailand 77,7 persen, Vietnam 21,4 persen, India 35,2 persen, Tiongkok 63,8 persen, Rusia 48,2 persen, Brazil 55,9 persen.

"Setelah tahu dan melek jasa keuangan, harapannya masyarakat mau membeli (finansial inklusi) produk, sehingga menumbuhkan industri jasa keuangan karena adanya suatu permintaan," ucap dia.

Ia melanjutkan, namun yang terpenting dari literasi keuangan ini yakni tidak sebatas mau memanfaatkan produk jasa keuangan (mau membeli) tapi mau mengubah perilaku dalam menggunakan uang yang dimiliki yakni menjadi tidak konsumtif dan mau berinvestasi.

"Dulu ada yang suka boros, setelah mengerti manfaat industri jasa keuangan jadi gemar menabung dan investasi, atau mulai menyiapkan masa datang dengan ikut program dana pensiun. Intinya literasi keuangan ini untuk mengubah perilaku," kata dia.



Pasar Modal

Terkait dengan mengubah perilaku tersebut, sementara ini, produk investasi yakni dana pensiun dan pasar modal masih berada di tempat terbawa atau paling tidak diminati masyarakat dari industri jasa keuangan.

Mantan Direktur Bursa Efek Indonesia Friderica Widyasari Dewi pada pertemuan "Forum Calon Investasi" mengatakan minat masyarakat Indonesia untuk berinvestasi di pasar modal masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia.

"Hal itu disebabkan masyarakat kurang mendapatkan pengetahuan, di samping juga mereka pernah menjadi korban penipuan dari lembaga investasi ilegal yang banyak beroperasi di daerah," ujar dia.

Ia mengatakan dari jumlah penduduk di Indonesia mencapai 240 juta orang, keinginan warga berinvestasi baru sekitar satu juta. Di antaranya 400 ribu di pasar modal, 500 ribu di Reksadana, dan sisanya di ORI (obligasi negara ritail).

"Jika dihitung dari jumlah penduduk memang masih kecil, hanya baru berkisar setengah persen dari jumlah tersebut. Karena itu kami akan terus melakukan sosialisasi ke daerah-daerah di Indonesia," imbuhnya.

Friderica Dewi mengatakan masyarakat Indonesia hingga saat ini belum banyak mengetahui keuntungan jika melakukan investasi di lembaga resmi, seperti pasar modal dan Reksadana. Masyarakat punya uang, sebagian penghasilannya untuk disisihkan menabung di bank.

Padahal, kata dia, kalau bisa berinvestasi di salah satu lembaga tersebut akan mendapatkan keuntungan lebih dibanding hanya menabung di bank.

"Karena itu kami akan terus memberikan pemahaman dan pengertian melalui edukasi ke daerah-daerah terkait cara dan mekanisme berinvestasi yang benar. Memang kalau berinvestasi ada resiko pasang surut, tergantung dari penjualan saham di pasar modal," tambahnya.

Tekait dengan persoalan ini, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Agus Sugiarto mengatakan OJK telah menemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini yakni sosialisasi mengenai pasar modal dan membuat beragam produk investasi.

Saat ini, OJK mengenalkan beragam produk investasi yang bisa dibeli oleh masyarakat kelas bawah yakni mulai dari asuransi mikro, reksadana mikro, dan tabungan mikro tanpa biaya administrasi.

"Dulu membeli saham harus satu lot yang isinya 500 lembar, kini sudah ada 100 lembar supaya masyarakat ekonomi menengah ke bahwa juga bisa turut berinvestasi, begitu pula dengan asuransi mikro yang bisa dibeli dengan hanya Rp50 ribu per bulan," tutur dia.

Mengenai sosialisasi, ia mengemukakan, masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai pentingnya berinvestasi yang dapat mengatasi persoalan ketika sebuah keluarga diserang "shock" keuangan.

"Harus ditanamkan bahwa shock keuangan atau krisis keuangan hanya dapat dihadapi bari mereka yang mau berinvestasi. Jadi dalam literasi OJK, masyarakat didorong untuk tidak konsumtif dan mau berinvestasi," kata dia.

Sementara itu, Ketua Lembaga Sertifikasi Perencana Keuangan Indonesia (FPSB) Tri Joko Santoso mengatakan pengubahan pola tingkah laku masyarkat dalam menggunakan uang bukan perkara mudah, apalagi budaya yang berkembang mengarahkan masyarakat untuk bersikap konsumtif.

Lantaran ini, minat keluarga di Indonesia untuk berinvestasi terbilang rendah.

Untuk itu, setiap keluarga harus didorong membuat suatu perencanaan agar tujuan dalam berkeluarga tetap tercapai, meskipun dihadapkan berbagai tantangan (shock keuangan).

Seorang perencana keuangan harus bersikap tegas dalam membuat skala prioritas mengingat pada tahun 2015 juga bakal terjadi pelemahan ekonomi.

"Belilah apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan. Ini penting karena gaya hidup masa kini sangat mempengaruhi cara orang menggunakan uangnya," ujarnya.

Tri menerangkan, setiap keluarga harus menganut prinsip-prinsip dalam perencanaan keuangan, diantaranya menyisihkan sekitar 35 persen dari pendapatan untuk membayar utang yakni cicilan kredit rumah.

"Mengapa hingga 35 persen, karena rumah dianggap sebagai aset wajib dalam berkeluarga sehingga ketika tidak produktif lagi akan terbebas dari utang," tukasnya.

Kemudian, menyisihkan pendapatan sebesar 10 persen untuk membayar asuransi yang menjadi salah satu upaya untuk mengelola risiko bila terjadi kejadian meninggal dini, cacat, atau sakit kritis terhadap sang pencari pendapatan.

Lalu, mengalokasikan sekitar 10 persen untuk tabungan dan investasi sehingga pada masa tua dapat digunakan untuk keperluan saat pensiun dan dana perjalanan ibadah.

"Harus dipahami bahwa sebagian dari pendapatan yang diterima hari ini merupakan sumber untuk pengeluaran masa depan," ujarnya.

Ia menambahkan, setelah pendapatan dialokasikan untuk cicilan utang, asuransi, investasi, dan tabungan, maka tahapan lanjutannya yakni belanja rumah tangga dan gaya hidup yakni sebesar 45 persen.

"Ini masalah sikap jadi memang tidak mudah, kadang orang sudah mengetahui teorinya tapi sulit untuk merealisasikannya. Namun terlepas dari hal ini, semua dapat dimulai dengan langkah awal yang mudah yakni dengan membuat daftar apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan," paparnya.