Mungkinkah pemilik izin lahan bertanggung jawab mutlak?

id izin, lahan, hutan, kebakaran, hukum, pemilik lahan, perkebunan, kelapa sawit, kebakaran hutan, kabut asap, asap

Mungkinkah pemilik izin lahan bertanggung jawab mutlak?

Prajurit TNI AD memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Palm Raya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/15)

....Lalai itu merupakan perbuatan melanggar hukum meski tidak ada unsur kesengajaan karena dalam hukum, kelalaian itu bukan saja berdampak negatif tapi juga positif....
Palembang (ANTARA Sumsel) - Kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi sejak setengah abad lalu tetapi hingga kini tidak mudah untuk menunjuk pihak yang harus bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut.

Meski terdapat tiga proses hukum yang dapat dipilih oleh negara yakni pidana, perdata, dan administrasi, tetapi tetap saja tidak mudah karena setiap proses memiliki celah, seperti pidana yang harus ada bukti, dan perdata yang harus ada unsur kerugian.

Dalam upaya penegakan hukum itu, sementara ini negara telah melayangkan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri Palembang ke PT Bumi Mekar Hijau sebesar Rp7,8 triliun atas kebakaran di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Di persidangan, perusahaan telah mengklarifikasi bahwa mereka juga mengalami kerugian karena kebakaran terjadi di lahan akasia siap panen, sehingga suatu kemustahilan ada unsur kesengajaan untuk membakar lahan.

Selain itu, perusahaan juga mengklarifikasi bahwa tidak ada unsur kelalaian karena sudah menyiapkan sarana dan prasarana melebihi ketentuan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Terkait dengan hal ini, ahli hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana dalam keterangannya sebagai saksi ahli, Selasa (20/10), mengatakan, sebenarnya negara tidak perlu kesulitan untuk menyeret pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan.

Menurut dia, Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menegaskan bahwa pemilik izin harus bertanggung jawab mutlak (strict liability).

Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup maka bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Bahkan, ia melanjutkan, pasal 49 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan lebih ketat dan masuk kategori absolut yakni pemilik izin tidak memiliki kesempatan untuk menyangkal.

Ketentuan ini juga diturunkan ke pasal 18 PP Nomor 4 tahun 2001 dan pasal 30 PP Nomor 45 tahun 2004.

"Berdasarkan ketentuan UU ini, maka khusus kebakaran lahan dan hutan artinya tanpa harus ada unsur kesalahan dan tidak ada celah untuk mengelak. Jika kedua UU ini digabungkan maka maknanya strict absolut," kata dosen mata kuliah hukum lingkungan hidup ini.

Menurut dia, UU terkait lingkungan hidup ini menerapkan pertangungjawaban penuh yakni tidak perlu adanya unsur kesalahan ini tak lain untuk membuat semua kalangan sangat berhati-hati atas perilakunya terhadap lingkungan yang kategori beresiko tinggi.

"Dalam Undang-Undang ini sebenarnya semuanya jelas, bahwa dapat digunakan untuk proses hukum perdata, pidana, dan administrasi, jadi tidak ada alasan lagi meskipun pemilik izin sudah sedemikian hati-hatinya, tetap saja mereka yang bertanggung jawab," kata dia.

Pernyataan saksi ahli ini dipertanyakan majelis hakim karena dalam hukum secara universal dinyatakan tidak ada pertanggungjawaban tanpa kesalahan.

"Iya memang benar, tapi pertanggungjawaban absolut ini bisa dibenarkan dalam beberapa literatur yang saya baca, karena bertujuan membuat orang berpikir seribu kali sebelum berbuat karena kegiatan yang dilakukan sangat berisiko tinggi. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan ini bukan saja untuk keadilan tapi juga menimbulkan efek positif pada masa mendatang," kata dia.

Ia melanjutkan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat yakni setelah penerapan pertanggungjawaban mutlak justru semakin meningkatkan manajemen risiko, bahkan model hukum seperti ini sudah dilakukan di banyak negara.

Menanggapi pernyataan saksi itu, majelis hakim bertanya apakah ini tidak bersinggung prinsip keadilan?
Andri menjawab, justru model ini membuat korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan kesalahan.

"Jika dicermati bahwa UU lingkungan hidup ini sebenarnya telah memprediksi bahwa memang tidak mudah membuktikan terjadinya kesalahan dalam kasus lingkungan, karena ada kemungkinan menggunakan pendekatan 'force majeure' (seperti yang dilakukan PT BMH)," kata dia.

Ia mengatakan, untuk kasus lingkungan di Amerika Serikat dan banyak negara justru tidak mudah melakukan pendekatan "force majeure" karena harus memenuhi empat syarat, yakni kejadian luar biasa akibat cuaca (tidak boleh ada campur tangan manusia sedikit pun), tidak bisa diprediksi, tidak pernah terjadi, dan tidak terkendali.

"Keempat unsur ini harus terpenuhi. Jika tidak, maka gugur," kata dia.

Ia menambahkan, kasus serupa tanpa mempertimbangkan "force majeure" terjadi pada kasus longsor di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat.

"Ketika itu majelis hakim menolak dalil Perhutani yang menyatakan 'force majeure' karena menilai jika sudah tahu lahan gundul lantas mengapa tidak direboisasi," kata dia.

Sementara itu, terkait pertanggungjawaban mutlak tanpa unsur kesalahan ini, penasihat hukum PT BMH Kristianto justru mempertanyakannya pernyataan saksi ahli ini mengingat izin diberikan pemerintah, yang artinya pemerintah juga bertanggung jawab.

"Jika dikatakan bahwa pemilik izin bertanggung jawab atas kebakaran di lahannya, lantas siapa yang bertanggung jawab atas kebakaran di hutan lindung. Sementara, saat ini hutan lindung juga terbakar," kata Kristianto.

Terkait pernyataan saksi ini, Andri tidak menyangkal bahwa kebakaran hutan lindung menjadi tanggung jawab pemerintah.

"Pemerintah bisa mempertanggungjawabkan kelalaiannya jika ada warga masyarakat yang mengugat, tapi sejauh ini saya belum pernah mendengar pemerintah digugat terkait kebakaran hutan lindung," kata dia.
   
                                                                         Alot
Gugatan negara ke PT Bumi Mekar Hijau masih harus menempuh jalan berliku sejak mulai digulirkan pada Agustus 2015, karena sejumlah fakta mampu diklarifikasi perusahaan di persidangan.

Sidang ini pun berlangsung alot karena agenda pembacaan putusan selalu dibatalkan penggugat selalu beralasan akan menambah keterangan saksi ahli.

Dalam gugatan perdata ini, PT BMH mampu menjelaskan upaya yang dilakukan perusahaan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan akasia yang panen dengan memberikan bukti berupa peralatan dan regu pemadaman kebakaran yang dimiliki.

Selain itu, PT BMH juga membuktikan bahwa lahan yang diterima dari pemerintah pada 2004 itu dalam keadaan rusak saat kebakaran hebat di tahun 2007.

Kemudian, perusahaan mengelontorkan Rp1,5 triliun untuk mengubah menjadi lahan subur dan produktif.

PT BMH juga mampu menunjukkan bahwa pada saat kebakaran hutan tersebut dalam el nino berdasarkan data dan informasi dari BMKG.

Atas klarifikasi tersebut, maka PT BMH berpendapat bahwa kebakaran lahan itu terjadi dalam kondisi "force majeure" (dipengaruhi cuaca esktrem) dan tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian untuk memperlambat upaya pemadaman karena lahan yang terbakar merupakan lahan siap panen.

Terkait keinginan dinyatakan "force majeure" itu, ahli hukum lingkungan hidup Atja Sondjaja mengatakan kasus kebakaran lahan dapat dinyatakan sebagai kondisi luar biasa (force majeure) jika terbukti disebabkan pengaruh cuaca.

Tapi, Atja memberikan catatan yakni, kondisi luar biasa ini dapat dinyatakan apabila perusahaan terbukti telah menerapkan standar operasional prosedur, memiliki sarana dan prasarana pencegah kebakaran, dan SDM yang mengurusnya.

Mantan hakim agung ini menjelaskan bahwa kondisi "force majeure" merupakan kondisi di luar kemampuan manusia. Sehingga, siapapun yang berada dalam kondisi tersebut maka akan menghadapi hal serupa.

"Contohnya, seseorang yang sudah berjanji akan menyerahkan sapi ke pembelinya, kemudian di tengah jalan ternyata hewannya itu di sambar petir, maka bisa dikatakan masuk kategori "force majeure". Jadi dapat terlepas dari tanggung jawab karena terkena penyebab dari luar bukan dari dia," kata dia.

Menurutnya, dalam kasus hukum lingkungan harus hati-hati dalam menetapkan kondisi "force majeure" ini karena harus juga mempertimbangkan unsur kesengajaan dan kelalaian.

Ia pun menyerahkan ke majelis hakim untuk menilainya ketika ditanya terkait kasus kebakaran lahan PT BMH itu.

"Jika perusahaan tersebut sudah menerapkan standar operasional prosedur dan menyiapkan semua sarana dan prasarana kebakaran lahan maka baru bisa lepas. Tapi, jika setelah diteliti dan dibuktikan ada unsur kelalaian dan kesengajaan maka dapat dijerat dalam perbuatan melanggar hukum," kata dia.

Untuk perbuatan melanggar hukum ini, dapat dikenakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku melalui upaya pembuktian.

"Lalai itu merupakan perbuatan melanggar hukum meski tidak ada unsur kesengajaan karena dalam hukum, kelalaian itu bukan saja berdampak negatif tapi juga positif," kata dia.    

Sementara itu, berdasarkan Pusat Data dan Informasi BNPB diketahui luas lahan dan hutan yang terbakar sejak Juli 2015 telah mencapai 1,9 juta hektare.

Jika tidak ada penanganan serius hingga ke akar persoalan, maka bencana kabut asap ini niscaya akan terjadi lagi di tahun depan.

Tindakan tegas dan tanpa pandang bulu dalam menjerat pelaku pembakar lahan, mulai dari tenaga lapangan hingga pemilik menjadi pilihan tepat untuk memberikan efek jera, sehingga musibah kabut asap yang sudah terjadi sejak 48 tahun silam ini terhenti.