Menggalang kekuatan di ujung waktu

id siswa smk, mea

Menggalang kekuatan di ujung waktu

Siswa SMK Negeri 2 Palembang melakukan praktik pengukuran tanah di lingkungan sekolah, Jumat (6/11). (Foto Antarasumsel.com/15/Dolly Rosana)

...Sebenarnya, bagi siswa SMK sudah tidak terkejut lagi dengan MEA ini karena pada tahun 90-an sudah diperkenalkan bahwa bakal datang era globalisasi....
Palembang (ANTARASumsel) - Di tengah kekhawatiran terhempasnya tenaga kerja Indonesia saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan, siswa Sekolah Menengah Kejuruan justru memunculkan harapan. 

 

Yakni, harapan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia Tenggara bersama Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

  

Wakil Kepala Sekolah Bidang Sumber Daya Manusia SMK Negeri 2 Palembang Malizon di Palembang, Jumat, mengatakan, siswa SMK tergolong kelompok yang paling siap menghadapi MEA karena setelah lulus, mereka bukah hanya mendapatkan ijasah, tapi juga dua sertifikat sekaligus yakni dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP).

     

"Sebenarnya, bagi siswa SMK sudah tidak terkejut lagi dengan MEA ini karena pada tahun 90-an sudah diperkenalkan bahwa bakal datang era globalisasi. Jadi sejak lama, siswa SMK itu, selain memiliki ijasah juga memiliki sertifikat keahlian," ujar dia.

     

Dari sisi keahlian, ia menjamin anak asuhnya mampu bersaing karena telah dididik oleh guru bersertifikasi dan berkesempatan magang sebagai tenaga kerja.

     

Selain itu, model spesialisasi yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan saat ini juga turut mengiring siswa SMK (calon tenaga kerja) menjadi mahir atas bidang yang dipilihnya.

     

Lantaran itu, sekitar 40 persen lulusan SMK N 2 Palembang terserap di dunia kerja, sementara 35 persen melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, dan sekitar 25 persen yang tidak diketahui kabar beritanya.

     

"Pada tahun 90-an, siswa SMK bisa semua semisal otak-atik mesin, menggambar, hingga alat-alat listrik, tapi tidak tuntas (tidak mahir, red). Tapi kini, lulusan SMK tidak lagi seperti itu, mereka sejak kelas baru masuk sudah disuruh memilih mau mengambil jurusan apa, jadi benar-benar mahir setelah lulus," kata dia.

 

Ia menambahkan, bermodalkan, dua sertifikat itu, beberapa anak asuhnya bisa diterima bekerja di sejumlah perusahaan nasional. "Belum lama ini ada yang bekerja sebagai tenaga teknik untuk pembangunan Lapangan Terbang di Pagaralam, Sumsel," kata dia.

    

Sementara Kepala Lembaga Pengembang Jasa Konstruksi (LPJK) Sumsel Sastra Suganda tidak membantah bahwa tenaga kerja lulusan SMK dan D3 yang paling siap pakai dibandingkan lulusan SMA atau strata 1. 

     

Ia merujuk pada, belum lama ini, LPJK menyertifikasi lulusan Politeknik Sriwijaya sebanyak 150 orang untuk mendapatkan SKT III dengan biaya yang sudah disubsidi pemerintah melalui APBN.

     

Namun, khusus di jasa konstruksi, sertifikat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP) itu tidaklah cukup mengingat dalam UU Konstruksi Nomor 18 tahun 1999 kemudian dijelaskan dalam PP 29 tahun 2000, dinyatakan bahwa tenaga kerja jasa konstruksi harus bersertifikasi oleh lembaga indepeden, dalam hal ini pemerintah menunjuk LPJK.

     

"Memang benar, siswa SMK itu ketika lulus sudah memiliki sertifikat keahlian. Tapi khusus untuk jasa konstruksi, harus disertifikasi lagi di LPJK. Harapannya, ke depan ada yang memfasilitasi mereka sehingga setelah lulus, sudah benar-benar siap pakai," kata dia.

      

Elfianti (17), siswa kelas XII SMK N 2 Palembang mengatakan justru tidak tahu bahwa dirinya harus memiliki sertikasi LPJK jika ingin berkecimpung di dunia kontruksi.

      

"Saya lihat, kakak kelas langsung bekerja saja ikut konsultan, atau perusahaan. Tapi jika memang diharuskan, saya berencana membuatnya," kata Elfi yang dijumpai ketika sedang praktek lapangan di sekolahnya, Jumat (6/11).

     

Bagi Elfi, langsung bekerja setelah lulus menjadi cita-citanya, seperti kebanyakan teman-temannya.

     

Ia pun optimitis bisa tercapai karena bidang ilmu ukur tanah sedang dibutuhkan karena saat ini terjadi pembangunan yang cukup gencar di Palembang.

     

Terkait dengan adanya acaman dari tenaga kerja asing, Elfi mengatakan hal itu tidak perlu ditakutkan karena sebagai penduduk asli dipastikan memiliki keunggulan terkait pemahaman kondisi kehidupan sosial masyarakat.

     

Sementara, adakah keinginannya bekerja di luar negeri, remaja ini menyatakan lebih tertarik bekerja di Indonesia.

     

Siswa lainnya, Bayu Kurniawan (16) memiliki jawaban berbeda. Ia mengatakan tertarik untuk bekerja di luar negeri karena kemungkinan dibayar lebih besar.

     

"Mengapa tidak bekerja di luar negeri, asalkan ada keahlian. Jika modal tidak ada, jelas tidak berani," kata siswa kelas XII ini.

 

Sertifikasi 

 

Kurang dari dua bulan, atau tepatnya 31 Desember 2015, Indonesia akan memasuki pasar tunggal Asia Tenggara atau sering disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN.

 

Setidaknya ada sembilan negara yang akan bersama-sama Indonesia menjadi bagian dari upaya menggalang kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia Tenggara yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

 

Dalam perberlakuan pasar tunggal itu, bisa dikatakan, sektor tenaga kerja yang paling menyita perhatian.

 

Berdasarkan data Lembaga Pengembang Jasa Konstruksi Provinsi Sumatera Selatan per November 2015 diketahui bahwa jumlah tenaga kerja yang sudah bersertifikasi hanya berjumlah 4.677 orang dengan rincian, untuk pemilik sertifikat SKA (keahlian) sebanyak 1.959 orang dan SKTK (keterampilan) sebanyak 2.718 orang.

     

Kepala Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Sumatera Selatan Sastra Suganda mengatakan, jumlah itu diperkirakan hanya 10 persen dari potensi tenaga kerja yan ada di daerah tersebut.

     

Padahal, ia melanjutkan, jika bicara 'senjata' untuk menghadapi persaingan dengan negara-negara di ASEAN, seharusnya Sumsel sudah memiliki 40 ribu tenaga kerja bersertifikasi.

     

Rendahnya tenaga kerja bersertifikasi ini, menurut Sastra tak lepas dari kurangnya kesadaran tenaga kerja untuk menyertifikasikan dirinya sendiri.

     

Umumnya, tenaga kerja memiliki sertifikasi atas keterampilan dan keahlian yang dimiliki lantaran dibuatkan oleh pemilik usaha yang bertujuan memenuhi syarat mengikuti tender jasa kontruksi.

     

Seperti diketahui, badan usaha dengan nilai proyek sebesar Rp1 miliar diharuskan memiliki tenaga kerja bersertifikat keterampilan SKT III, kemudian jika bernilai Rp1,75 miliar maka harus memiliki tenaga kerja bersertifikat SKT II. Lalu, jika proyek bernilai Rp2,5 miliar maka harus memiliki tenaga kerja bersertifikasi SKT I.

     

Sedangkan, aturan lain menyatakan bahwa badan usaha harus memiliki pekerja bersertifikat keahlian (SKA Muda) untuk nilai proyek bernilai dibawah Rp10 miliar, dan SKA Madya untuk nilai proyek berkisar Rp10 miliar-Rp50 miliar. Sedangkan SKA utama untuk nilai proyek di atas 50 miliar hingga tidak terhingga yang dilegalisasi oleh LPJK Nasional. 

     

"Sejauh ini saya mengamati jika dari tenaga kerja sendiri yang secara sadar mau membuat, bisa dikatakan hampir tidak ada di Sumsel," ujar Sastra.

     

Ia tidak menyangkal, hal ini juga dilatari budaya di masyarakat yang tidak terbiasa dengan membuat sertifikat atas keahlian yang dimiliki.

     

Sayangnya, negara-negara di ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sudah sejak lama mendorong tenaga kerjanya bersertifikat keahlian karena sertifikat dijadikan dasar untuk menilai tingkat kecakapan seseorang.

     

"Contohnya begini, di Sumsel ini banyak tukang bagus, tapi jika ditanya mana buktinya (sertifikat, red) maka mereka sama sekali tidak memiliki," kata dia.

     

Lantas, saat MEA berlangsung apa yang terjadi ?. Bisa jadi, tenaga kerja asing yang bersertifikat yang akan dipilih untuk pekerjaan kontruksi yang juga didapatkan asing. Mereka enggan memanfaatkan tenaga lokal karena menilai tidak ada tolak ukurnya.

     

Untuk itu, menurut Sastra, sangat dibutuhkan peran pemerintah, asosiasi profesi untuk mempercepat ini agar tenaga kerja khususnya di bidang konstruksi mampu bersaing ketika MEA mulai berlaku.

     

Dukungan ini berupa sokongan dana subsidi berupa bantuan biaya pembuatan sertifikat keahlian karena sebagian besar tenaga kerja enggan menyertifikasi dirinya karena terkendala biaya.

     

Seperti diketahui untuk biaya membuat SKT III sebesar Rp350 ribu, SKT II Rp450 ribu dan SKT I Rp550 ribu. 

 

Selain itu, bagi mereka yang belum mengikuti pelatihan juga diwajibkan mengikutinya di asosiasi masing-masing, di antaranya, Asosiasi Profesionalis Elektrikal-Mekanikal Indonesia (APEI) dan Gabungan Tenaga Ahli Konstruksi (Gataki).

     

"Nah persoalannya, bukan hanya biaya pelatihannya, mereka juga malas meluangkan waktunya," ujar dia.

     

Sehingga, ia berpendapat, dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak untuk mendorong tenaga kerja Indonesia lebih profesional dengan harapan mampu bersaing dengan tenaga kerja asing.

     

Ketua Unit Sertifikasi Badan Usaha LPJK Sumsel Djon Panggarbesi menambahkan, saat ini pemerintah gencar mendorong tenaga kerja untuk memiliki sertifikat keahlian.

     

Salah satunya dengan program pelatihan dan uji kompetensi dengan Kendaraan Pelatihan Keliling/Mobile Training Unit (MTU).

     

Melalui stimulus pemerintah ini, Sumsel ditargetkan menambah sekitar 500 tenaga kerja bersertifikasi hingga akhir tahun (sebelum MEA), sementara di tahun 2016 akan ditambah lagi sebanyak 2.000 tenaga kerja dengan menggunakan dana APBN.

     

"Rencananya, Sumsel akan mulai mengenalkan sistem sertifikasi jemput bola ini pada 16 November di PT Dilia Utama yakni melatih para mandor yang bekerja di proyek-proyek konstruksi," kata dia.

 

Pemerintah terus mendorong sertifikasi pekerja konstruksi. Tercatat hingga akhir tahun 2015 ini baru mencapai 6,55 persen dari 7,3 juta tenaga konstruksi, dengan rincian 124.864 orang ahli dan 353.425 orang terampil.

 

Upaya di pengujung waktu ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari tenaga kerja, asosiasi, kalangan swasta, dan masyarakat sendiri.

 

Kini, Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah di depan mata, tidak ada jalan untuk kembali selain mempersiapkan diri sebaik-baiknya.