Rusminah, veteran yang ingin punya rumah

id veteran, pejuang

Rusminah, veteran yang ingin punya rumah

Rusminah, veteran asal Sumsel. (Foto Antarasumsel.com/15/Dolly Rosana)

...Mengapa ada korupsi, katanya negara sudah canggih, sudah tidak ada lagi yang kelaparan. Saya dulu berjuang tanpa pamrih, kenapa saat ini justru ambil uang negara...
Palembang (ANTARASumsel) - Kisah para veteran di masa tua kerap kali memilukan mulai dari tidak memiliki tempat tinggal, jauh dari keluarga, hingga hidup hanya dari belas kasihan orang lain.

Rusminah, nenek berusia 99 tahun, salah seorang pejuang kemerdekaan di Palembang, Sumatera Selatan, juga tak luput dari penderitaan itu. 

Sejak 2009, ia mendiami Panti Sosial "Tresna Werdha Teratai" milik Pemerintah Kota Palembang bersama belasan jompo tuna wisma lainnya lantaran kediamannya digusur untuk pelebaran jalan.

"Memang rumah itu bukan punya saya, hanya numpang tanah saja. Karena ramai-ramai diberitakan kalau ada veteran kena gusur oleh televisi lokal, suatu malam saya dijemput dan dibawa untuk tinggal di panti," kata Rusminah yang diwawancarai di panti sosial, Jumat (20/11).

Rusminah berasal dari Jawa, tepatnya Cirebon. Menurutnya, perang lima hari lima malam yang membawanya mengenal Kota Palembang.

Ketika itu pada usia sekitar 31 tahun, ia diboyong komandan dari Jawa ke Palembang pada tahun 1947 untuk membantu perlawanan rakyat melawan tentara sekutu. 

"Saya ingat betul sampai masuk dan keluar hutan, satu hari kadang tidak makan. Perut sakit sekali, terkadang seperti meminum darah karena melihat banyak yang mati. Tapi, saya mendapat kekuatan dari komandan bahwa ini perjuangan dan pasti ditolong Tuhan," kata Rusminah yang sudah menjadi tentara sejak usia 18 tahun ini.

Setelah perang itu dan kondisi negara mulai membaik, ia pun kembali ke Jawa, namun mengalami musibah kehilangan harta benda, tas berisi pakaian, perhiasan emas, termasuk surat menyurat mengenai indentitas diri. 

Hal ini melatari keputusannya untuk meninggalkan Cirebon.

Ia pun memilih untuk merantau ke Palembang karena merasa nyaman dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Setiba di Palembang sebagai perantau yakni tanpa embel-embel sebagai tentara perjuangan, ia pun bekerja serabutan, mulai dari karyawan bioskop hingga membuka warung di sekitar proyek pembangunan Jembatan Ampera.

Ia pun sempat menikah pada usia 35 tahun tapi pernikahannya tidak berlangsung lama karena sang suami meninggal karena terkena sakit demam berdarah.

Setelah itu, ia hidup sebatang kara tanpa ditemani sanak keluarga karena semuanya tinggal di Jawa.

Kemudian, ia bekerja di sebuah toserba kurang lebih 20 tahun, dan terakhir setelah mulai sepuh mulai berjualan kerupuk khas Palembang di dekat stasiun kereta api, sebelum akhirnya tinggal di panti sosial.

"Suatu masa saya pulang ke Jawa kurang lebih dua bulan untuk menengok adik, tapi setelah pulang ke Palembang, betapa terkejutnya saya melihat rumah sudah digusur, sejak saat itu saya pun tinggal di panti," kenang Rusminah.


Benci Korupsi

Sejak kedatangannya ke panti, Rusminah dikenal sabagai nenek yang tegas dan disiplin.

Pimpinan Tresna Werdha Teratai, Edayati mengatakan karakter itu membuat Rusminah berbeda dengan penghuni panti lainnya. 

"Mungkin karena mantan tentara, jadi karakternya tegas ini terus terbawa, jika ada yang tidak sesuai maka langsung marah. Dia paling benci jika ada yang merumpi," kata Edayati.

Menurut Eda, meski usia Rusminah sudah sepuh, tapi untuk aktivitas harian masih dapat dilakukan sendiri, mulai dari mandi, berpakaian, makan, dan berjalan-jalan mengitari panti 

"Terkadang nenek pergi ke warung sendiri untuk jajan," ujar Edayati.

Lantaran itu juga, meski menjadi penghuni tertua di panti tersebut, mbah Rusminah, sapaan akrabnya, sering diajak untuk `roadshow` ke sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi untuk berbagai kisah mengenai masa-masa perjuangan kemerdekaan.

Mbah Rusminah mengatakan lebih nyaman mengerjakan sendiri aktivitasnya tanpa dibantu orang lain.

Baginya, kemandirian adalah suatu kebanggaan seperti kebanggaannya menjadi tentara pada masa perjuangan.

"Saya bawa senjata ke mana-mana, ada tentara Jepang mau ambil saya, langsung saya tembak, tidak takut padahal saat itu saya masih muda sekali, " kata Rusminah. 

Pada masa perjuangan itu, ia mengatakan sempat terserempet peluru, dan temannya bahkan sampai meninggal.

Namun, kejadian buruk itu tidak membuatnya mundur dari memanggul senjata membela rakyat walaupun usia masih sangat belia.

"Menjadi tentara merupakan cita-cita saya sejak kecil. Saat Sekolah Rakyat, ada anak Belanda mengatakan `kok anak perempuan mau jadi tentara`, saya langsung ajak dia berantem," kenang Rusminah.

Karena itu, nenek Rusminah mengaku kerap menangis karena mendapati kenyataan bahwa banyak pejabat negara yang korupsi.

Ia mengaku sedih karena negara yang diperjuangkannya justru moralnya menjadi lebih buruk setelah merebut kemerdekaan.

"Mengapa ada korupsi, katanya negara sudah canggih, sudah tidak ada lagi yang kelaparan. Saya dulu berjuang tanpa pamrih, kenapa saat ini justru ambil uang negara," kata Rusminah.

Namun, meski banyak yang korupsi tapi ia tidak pernah menyesal telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk kemerdekaan RI.

"Saya tidak pernah menyesal meski saat ini tinggal di panti sosial karena saya sudah merasakan betapa manisnya kehidupan setelah lepas dari penjajah," ujar nenek kelahiran 1916 ini.

Rusminah merupakan potret veteran yang hingga akhir hayatnya masih berkutat pada kesejahteraan. 

Ia masih berharap pada suatu saat negara akan memberikan rumah untuk ditempati bersama adiknya yang ada di Jawa.

"Saya ingin tinggal di rumah sendiri, tidak dicampur dengan jompo lain," harap Rusminah sambil menyeka air mata.