Pemerintah perlu himpun dana lingkungan secara cerdas

id pakar lingkungan, ricky avenzora, pemerintah, klhk, lingkungan, dana lingkungan, lsm, musi

Pemerintah perlu himpun dana lingkungan secara cerdas

Ilustrasi (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/15/den)

....Memperbaiki Undang-Undang Keormasan dan menghimpun 'dana lingkungan nasional' secara cerdas dan taktis....
Jakarta, (ANTARA Sumsel) - Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB Dr Ir Ricky Avenzora mengemukakan, pemerintah perlu memperbaiki Undang-Undang tentang Keormasan serta menghimpun dana lingkungan nasional secara cerdas dan taktis.

"Ada dua hal penting yang patut dipertimbangkan pemerintah untuk segera  dilakukan, yaitu memperbaiki Undang-Undang Keormasan dan menghimpun 'dana lingkungan nasional' secara cerdas  dan taktis," katanya kepada Antara di Jakarta, Rabu, menindaklanjuti pernyataannya yang disiarkan http://www.antarariau.com/berita/68640/ini-daftar-lsm-lingkungan-yang-kecipratan-dana-asing.

Menurut Ricky, negara perlu segera memperkaya dan mempertajam   isi  berbagai  undang-undang serta peraturan terkait keormas-an dan sementara itu pemerintah perlu pula  untuk menerapkan "law-enforcement" terhadap berbagai LSM-lingkungan; terutama yang berskala nasional  dan internasional. "Selama ini (sejauh yang saya tahu) tidak pernah satu pun  ada LSM papan atas yang mengumumkan kepada  publik secara terbuka mengenai  kinerja mereka  secara berkala di media masa; padahal undang-undang telah mengatur kewajiban tersebut. Semua informasi yang ada pada website mereka hanyalah berisikan informasi-informasi supervisial yang ditujukan untuk mempromosikan institusi mereka belaka," katanya.

Menurut Ricky, masyarakat luas tidak pernah tahu siapa sebenarnya para pendiri yang menjadi "sutradara" di balik layar  institusi tersebut. Masyarakat juga tidak pernah tahu  siapa saja yang menjadi pemberi dana gerakan mereka. "Hal itu perlu dibuka agar masyarakat bisa mendukung mereka secara sadar atau sebaliknya menjadi pengawas mereka bagi kepentingan bangsa dan negara kita," katanya.

Berbagai isi pasal yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan bagi suatu ormas terasa sangat sumir, lemah, normatif dan tidak disertai sanksi-sanksi yang tegas serta sepadan. Sedangkan berbagai ancaman kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suatu  ormas hanya diantisipasi dan dinyatakan sebagai suatu bentuk "pengaduan masyarakat". Hal ini berarti secara sistem belum ada elemen negara yang secara khusus bertugas mengawasi sepak terjang suatu ormas.

"Dalam era proxy-war yang sedang merajalela saat ini, hal tersebut sungguh membahayakan eksistensi berbangsa dan bernegara," katanya.

Dalam konteks menghimpun "dana lingkungan nasional", maka sesungguhnya pemerintah mempunyai peluang besar melalui skema pemanfataan dana CSR secara lebih  taktis, efisien serta berintegritas. "Kita semua perlu menyadari bahwa berbagai peraturan terkait CSR yang berlaku saat ini menyatakan bahwa CSR adalah bukan lagi sebagai suatu keuntungan yang disisihkan, melainkan secara sah dicatatkan sebagai "biaya". Atas hal itu, saat ini dana CSR sesungguhnya adalah ditanggung oleh konsumen, bukan oleh pengusaha.

Sejalan dengan hakekat kedudukan dana CSR tersebut, maka sesungguhnya konsumenlah yang mempunyai hak untuk menentukan kemana dan dalam bentuk program apakah sesungguhnya dana CSR itu sebaiknya disalurkan. Namun saat ini yang terjadi adalah sebaliknya,  dana CSR telah dijadikan oleh banyak perusahan sebagai bagian dari proses pencitraan yang lebih menguntungkan perusahaan.

"Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa sejak beberapa tahun lalu di BUMN-BUMN besar selalu berkeliaran 'kontraktor' CSR, bahkan sudah lama pula menjadi pembicaraan umum bahwa CSR adalah selalu menjadi ATM bagi elit politik dan pejabat tertentu," katanya.

Dalam hitungan kasar, nilai dana CSR dari berbagai perusahaan menengah ke atas yang ada di Indonesia setidaknya mencapai  Rp5.6 trilyun setiap tahun. Hal tersebut adalah jumlah yang sangat besar dan sangat signifikan untuk digunakan secara efisien dan efektif serta bertintegritas  bagi berbagai kepentingan skema pembangunan lingkungan di Indonesia.

Selama ini sesungguhnya sudah banyak pula dana CSR yang digunakan untuk sektor lingkungan, namun karena pola dan intensitasnya yang tidak terukur maka hasilnya menjadi tidak signifikan dan bahkan banyak yang gagal. Berbagai penyebab kegagalannya adalah terlibatnya LSM-hipokrit yang sering "akal-akalan", terbatasnya kapasitas SDM perusahaan, serta 3). Skala ekonomis serta kontinuitas program.

Mempertimbangkan potensi yang begitu besar, maka sesunguhnya pemerintah bisa menginisasi suatu benama Badan CSR Nasional yang secara khusus bertugas mengelola dana CSR nasional secara profesional dan bertanggungjawab untuk mencapai berbagai tujuan yang disepakati bersama; tentunya termasuk dalam membenahi ekosistem gambut. "Dalam empat tahun sisa Pemerintah Kabinet Kerja berarti setidaknya akan bisa dihimpun lebih dari 20 trilyun rupiah, besar dan berguna bukan ? Mengapa pula kita harus jadi "bangsa pengemis" donor lingkungan?" katanya.

Ahli-ahli pemasaran bangsa Indonesia pasti akan sangat paham dan mampu untuk merancang tindakan strategis untuk membalik pendiktean bangsa asing selama ini. "Melalui dana CSR-nasional bangsa kita malah bisa mendikte bangsa asing tersebut dalam hal perbaikan kualitas lingkungan di negeri kita," katanya