Emisi GRC Indonesia lebih rendah dari perhitungan internasional

id emisi, emisi gas rumah kaca, grc, rendah, lebih rendah dari perhitungan internasional

Emisi GRC Indonesia lebih rendah dari perhitungan internasional

Ilustrasi - Sejumlah petugas Dinas Perhubungan (Dishub) kota Palembang melakukan uji emisi gratis khusus mobil di kawasan Jl Merdeka, Palembang. (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/15/Den)

...Hasil laboratorium kami dibandingkan dengan IPCC ada perbedaan yang signifikan. Kadar CO2 minus 8 persen, CH4 minus 55 persen, NH3 minus 86 persen, dan CO plus 39 persen...
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia akibat efek kebakaran hutan lebih rendah dari perhitungan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kata peneliti riset internasional dari Institut Pertanian Bogor Profesor Dr Bambang Hero Saharjo.
       
Bambang di Jakarta, Kamis, memaparkan penelitian yang dilakukannya bersama South Dakota State University (SDSU), Montana University, dan Universitas Palangkaraya menunjukkan kadar CO2 yang lebih rendah dari angka yang dimiliki IPCC.
       
"Hasil laboratorium kami dibandingkan dengan IPCC ada perbedaan yang signifikan. Kadar CO2 minus 8 persen, CH4 minus 55 persen, NH3 minus 86 persen, dan CO plus 39 persen," kata Bambang.
       
Pengertiannya, CO2 dari sampel asap yang diambil langsung di Kalimantan Tengah memiliki kadar 8 persen lebih rendah dari perhitungan IPCC. Begitu juga dengan selisih kadar CH4, NH3, dan CO dari hasil penelitian dan perhitungan IPCC.
       
Selain dari hasil laboratorium, Bambang juga memaparkan perbedaan pandangan dalam menetapkan jenis kebakaran yang terjadi di wilayah gambut Indonesia pada 2015.
       
Dia menjelaskan bahwa jenis kebakaran hutan dipisahkan menjadi kebakaran permukaan, kebakaran gambut yang berada di bawah lahan, kebakaran yang merambat pepohonan, dan juga kebakaran di titik-titik panas.
       
Dari keseluruhan jenis kebakaran tersebut menghasilkan emisi gas yang berbeda-beda tergantung jenis kebakarannya. Emisi karbon yang dihasilkan kebakaran gambut jelas lebih besar dibandingkan emisi akibat kebakaran di permukaan saja.
   
Sedangkan, menurut Bambang, perhitungan IPCC menggeneralisir seluruh luas lahan yang terbakar pada 2015 sebagai kebakaran gambut.
      
 Penelitian yang dipimpin oleh Prof Mark A Cocharane dari SDSU dan Prof Bambang Hero Saharjo dari IPB dilakukan di Kalimantan Tengah di sekitar areal bekas proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) pada 2015 dengan menggunakan alat bernama Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
       
Alat tersebut merupakan alat yang didatangkan langsung dari Amerika Serikat dengan kualitas perangkat yang sama dengan yang diterbangkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) di Planet Mars. Penelitian tersebut juga mendapat dukungan dan didanai oleh NASA.