Cerita hantu laut di atas "hantu laut"

id hantu laut, laut, pantai, Pulau Pasi, Kepulauan Padaido, Biak Numfor, pantai pulau pasi

Cerita hantu laut di atas "hantu laut"

Pantai Pulau Pasi, Kepulauan Padaido, Biak Numfor. (Ist)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Sabtu (18/6), menjelang pergantian siang dan malam, Kapal Motor (KM) Gurano Bintang milik WWF Indonesia yang sedang menjalankan Ekspedisi Saireri di Teluk Cenderawasih melepas jangkar di sebelah barat Pulau Pasi, Kepulauan Padaido, Biak Numfor.

Kapal kayu berbobot 34 ton itu sempat digeser dua kali lebih ke arah utara untuk menghindari terbawa arus ke arah barat, seolah bergerak ke arah pulau yang berjarak tidak terlalu jauh di sebelah barat Pulau Pasi.

"Jangkarnya tidak kuat, terbawa arus kita," kata Kapten KM Gurano Bintang Bardin Tandiono saat Antara bertanya alasan kapal dipindahkan lagi lebih ke arah utara.

Sejak pagi air laut di selat kecil di antara Pulau Pasi dan Pulau Manggwandi yang berada di sebelah selatan memang tidak kunjung tenang. Angin yang bertiup kencang ke arah barat laut sempat mereda sesaat, namun kembali berembus kencang.

Bahkan gelombang yang ditimbulkannya berhasil mengocok isi perut anak-anak pesisir Samberpasi yang pada sore hari mengikuti Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di atas kapal yang diberi nama Hiu Paus tersebut hingga lemas.

Goyangan sedikit mereda saat kapal dapat berlindung di balik pulau. Pada saat itu tugas menghimpun data-data sejarah kampung hingga yang berkaitan dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Samberpasi sudah selesai, karena itu tim satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) di Kabupaten Biak Numfor yang ikut dalam Ekspedisi Saireri dapat bersantai sejenak di atas "Gurano Bintang".

Singkat cerita obrolan santai pemecah kesunyian di atas ayunan gelombang malam itu berjalan hangat. Percakapan semakin menarik mana kala Kepala Bidang Kemitraan Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Abeto Sroyer mulai menyebut nama pulau di sisi barat Pulau Pasi yang samar terlihat di bawah sinar bulan purnama.

"Baru-baru ini ada warga yang hilang di sekitar pulau, tanpa bekas, perahunya pun tidak ditemukan. Kalau sudah beberapa hari dan hilangnya di sekitar pulau itu biasanya warga di sini tidak akan mencari lagi, sudah dibiarkan saja," kata Abeto sambil mengarahkan pandang ke pulau yang dimaksud.

Pulau yang dimaksud adalah Pakreki, yang berada di tengah gugusan Kepulauan Padaido, Biak, yang "terbungkus" hutan lebat. Bahkan di siang hari pulau yang disebut Abeto memiliki gua di bagian bawah lautnya tersebut tetap tampak menyimpan misteri.

Seketika Antara teringat dengan keriuhan tadi pagi di kapal, saat hampir seluruh isi kapal menyadari penunjuk waktu di telepon genggam masing-masing kembali ke Waktu Indonesia Barat (WIB) setelah melekati perairan Pakreki. Padahal jelas-jelas Padaido ada di Papua yang seharusnya ada di Waktu Indonesia Timur (WIT).

"Bingung juga pas lihat kenapa tumben langit sudah terang banget tapi kok masih jam empat pagi. Ternyata jamnya balik ke WIB," kata Media Relation Officer WWF Indonesia Anastasia Joanita.

Entah karena angin yang terasa dingin berembus kencang sehingga lingkaran "grup diskusi" di deck atas KM Gurano Bintang malam itu yang awalnya renggang semakin merapat, atau karena kata faknik yang diucapkan oleh Abeto.

Fatnik merupakan sebutan hantu penjaga laut yang sudah ratusan tahun di percaya keberadaanya oleh masyarakat Biak. Dan Pulau Pakreki menjadi salah satu lokasi yang dijaga oleh hantu laut tersebut.

Pernah sekali Abeto bersama seorang rekannya dari Dinas Pariwisata Biak Numfor mengantarkan wisatawan asing untuk menikmati keindahan bawah laut di sekitar Pakreki. Ia meminta rekannya untuk membawa perahu motor cepat (speed boat) menunggu di titik berbeda di mana mereka akan naik ke permukaan.

"Saya tahu 'boat' tidak juga mau menyala, akhirnya dia (rekannya) gunakan kayu untuk mendayung agar menjauh dari pulau, padahal itu 'speed boat'. Itu keringat bercucuran, bajunya basah karena keringat," kata Abeto sambil tertawa puas mengingat kejadian tersebut.  
Cerita tentang hantu laut terus berlanjut di atas "hantu laut", kapal Gurano Bintang yang mengambil nama dari spesies Rhincodon typus, yang oleh orang Nabire dianggap sebagai "hantu laut".

          
              Kearifan Lokal
Selama ratusan tahun kepercayaan tentang faknik di Biak justru tanpa disadari menjadi kearifan lokal yang mampu melindungi laut. Rasa takut ternyata justru ampuh menjadi tameng bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati laut di sana.

Cerita tentang hantu laut di Pulau Rani yang tak berpenghuni, menurut Abeto, juga ditakuti masyarakat Kepulauan Padaido. Ada tangga di sisi selatan pulau yang menurut masyarakat setempat menjadi tempat faknik keluar dari dalam laut.

"Kalau mau snorkeling di sana bagus sekali karangnya. Di bagian atas itu dangkal, karangnya bagus, baru di sisi selatannya langsung berbentuk 'wall'," ujar dia.

Tidak ada yang berani ke sana, karenanya kondisi terumbu karang di tempat itu, menurut Abeto, sangat bagus, sehingga ikan pun berlimpah di sana.

"Pernah waktu mau diving di sana tidak ada warga yang mau mengantar, semua balik badan  setelah tahu mau ke sana. Tapi begitu lihat saya kembali, mereka malah minta antar saya untuk bisa tangkap ikan di sana," katanya sambil tertawa.

Kondisi terumbu karang dengan biota laut yang baik, menurut dia, juga dapat dijumpai di sekitar Pakreki. Padahal berdasarkan hasil penyelaman yang dilakukan tim Ekspedisi Saireri ada saja bagian karang yang rusak akibat aktivitas pengeboman di sekitar pulau-pulau di sana, namun titik yang dianggap pamali tersebut tetap terjaga baik.

Fisheries officer WWF Indonesia Program Papua Irwanto mengatakan sasi yang merupakan salah satu  kearifan lokal menjadi bentuk masyarakat di Pulau Pasi dan Mbromsi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perairannya.

Penerapan sasi di pulau-pulau tersebut ternyata memperkuat status Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ditetapkan oleh pemerintah pada masa Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP) II yang dimulai dari 2004--2009 dan dilanjutkan di COREMAP III pada 2010--2015.

Pelarangan pengambilan biota laut seperti teripang, lobster, jenis ikan tertentu dalam ukuran tertentu dengan sasi dalam enam bulan terakhir dijalankan di Pasi. Sasi diperpanjang ketika ukuran biota yang dilindungi belum mencapai ukuran yang dianggap aman untuk keberlanjutan ekosistem perairan sekitar.

Kearifan budaya lokal yang tidak terbatas ruang dan waktu sering kali lebih teruji oleh perubahan zaman yang begitu cepat dan rakus. Kekuatan kepercayaan masyarakat akan sesuatu hal berkaitan dengan metafisika kadang kala justru sukses  menjadi dasar kebijakan sosial yang ampuh dalam upaya menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam tetap ada pada koridor keberlanjutan.