Ombudsman: Proses pemilihan rektor jangan seperti pilkada

id ombusman, pemilihan rektor, seperti pemilihan pilkada, Anggota Ombudsman RI, Dr Laode Ida

Ombudsman: Proses pemilihan rektor jangan seperti pilkada

Ombusman RI (Antarasumsel.com/Grafis/Ang)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Anggota Ombudsman RI Dr Laode Ida menyatakan prihatin proses pemilihan rektor cenderung mirip pemilihan kepala daerah (Pilkada), mulai dari mobilisasi dukungan di jajaran anggota senat akademik sampai adanya aroma tak sedap dalam memperoleh dukungan suara signifikan dari menteri.

"Perguruan tinggi seharusnya menjadi tauladan moralitas, integritas, dan administrasi, karena perguruan tinggi merupakan sumber kader pengelola negara, mulai dari lapis bawah sampai pada pimpinan tertinggi negara," kata Laode  kepada pers di Jakarta, Rabu.

Menurut Laode, terkait aroma tak sedap dalam mendapatkan dukungan suara dari menteri terkait, dukungan itu mencapai 35 persen, bahkan prakteknya bisa lebih dari 50 persen pada tahap akhir proses pemilihan rektor.

Ombudsman, lanjutnya, juga mendapat laporan adanya perguruan tinggi yang mengobral ijazah kepada peserta didik S-1, bahkan ke peserta Program S2 dan S3 yang dilakukan dalam sistem kelas jauh dan atau eksekutif serta hanya diikuti oleh para pejabat dari berbagai daerah atau orang-orang yang  berduit.

Fatalnya lagi, ada juga dosen yang ikut memanfaatkan program jenjang akademik formalitas seperti itu, dan kemudian mereka menyandang gelar doktor untuk bisa dijadikan salah satu syarat mengusulkan profesor.

"Tampaknya produk dari proses formalitas seperti itulah yang hari-hari ini diributkan oleh sebagian rekan civitas akademika di UNIMA Manado dan kini sedang diproses oleh Ombudsman, selain juga di Universitas Haluoleo Kendari," katanya sambil menambahkan bahwa Ombudsman memperhatikan serius masalah itu.

Menurut dia, beberapa pihak meyakini bahwa fakta-fakta yang terungkap itu bagaikan butiran gunung es, karena patut diduga masalah tersebut terjadi pada banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun swasta di Indonesia.

Ia juga mengemukakan adanya dugaan bahwa masalah yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi itu adalah produk dari manajemen kementerian yang membidangi pendidikan tinggi.

Dalam konteks ini, lanjutnya, Prof M Nasir selaku Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek dan Dikti) sekarang ini hanya menerima warisan serta belum bisa melakukan reformasi birokrasi di internal kementeriannya.

Kemungkinan lain, para pejabat dari kementerian terkait lalai dalam mengendalikan kebobrokan di internal perguruan tinggi di Indonesia. Setelah adanya laporan kepada pihak berwenang seperti Ombudsman, baru kemudian mereka sedikit terbuka matanya. Itu pun sebagian pejabatnya terus berupaya mengabaikannya.

"Maka, di era bersih-bersih pungli sekarang ini, seharusnya juga dibarengi dengan bersih-bersih kampus ke arah terbangunnya lembaga perguruan tinggi yang ideal," kata Laode.