Dewan pers: Barcode untuk antisipasi "penumpang gelap"

id Barcode, Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, mengantisipasi, penumpang gelap

Dewan pers: Barcode untuk antisipasi "penumpang gelap"

Dewan Pers (ANTARA)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi mengatakan "barcode" yang dirancang lembaga itu untuk memilah media pers dengan media nonpers merupakan langkah untuk mengantisipasi "penumpang gelap".

"Selama ini kami temukan kecenderungan media nonpers isinya tidak menaati asas dan kode etik, tapi saat ada masalah maunya dianggap pers. Itu namanya 'penumpang gelap'," kata Imam di Jakarta, Jumat.

Maraknya media, terutama media online yang tidak sedikit di antaranya justru menyebarkan berita palsu (hoax) bahkan menyebarkan paham radikal, membuat Dewan Pers merasa perlu bersikap untuk menjelaskan kepada publik bahwa tidak semua media itu merupakan media pers, salah satunya dengan menerapkan barcode.

"Nantinya yang mendapat barcode hanya media cetak atau online yang tercatat sebagai perusahaan pers yang standardisasinya sesuai ketentuan yang ada di Dewan Pers. Untuk yang nonpers, ya terserah itu bukan urusan kami," kata Imam.

Ia menjelaskan, pembuatan barcode ini merupakan pelaksanaan Deklarasi Palembang 2010 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu, ada empat peraturan Dewan Pers yang diratifikasi oleh sebagian besar pemilik media besar di Indonesia.

Empat peraturan inilah yang menjadi prioritas oleh media pers, yaitu standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Rencananya penggunaan barcode  akan dilakukan saat HPN di Ambon tahun ini. Dengan adanya barcode, profil media akan bisa diakses dalam database Dewan Pers dan bisa diketahui jatidiri perusahaan pers, alamat, penanggung jawab redaksi, dan badan hukum.

Keberadaan barcode itu juga akan memudahkan untuk memilah mana yang media pers dan mana media yang bukan pers. Kalau barcode sudah diberlakukan maka yang tidak terdaftar di Dewan Pers berarti bukan media pers dan tidak berada di wilayah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Bila merasa sebagai media pers, mereka harus mendaftar ke Dewan Pers untuk diverifikasi," kata Imam.

Terkait pemblokiran 11 media oleh Kemenkominfo karena dinilai mengandung unsur SARA, Imam mengungkapkan bahwa setiap akan melakukan blokir Kemenkominfo lebih dulu konfirmasi ke Dewan Pers. Menurutnya, kalau media pers tentu tidak akan diblokir, tapi diproses sesuai UU Pers.

"Intinya kalau bukan media pers berarti wilayahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan itu ada UU-nya sendiri. Jadi, silakan media nonpers diproses sesuai UU yang berlaku," kata dia.