Sulitnya berpuasa di era Medsos

id medsos, media sosial, puasa, menahan lapar, menahan hawa nafsu, amarah, tokoh Islam, KH Ahmad Jayadi, ibadah spesial

Sulitnya berpuasa di era Medsos

lustrasi . (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

....Upaya mengendalikan diri di dunia maya itu tak semudah di dunia nyata, karena dunia maya dipenuhi dengan informasi palsu (hoax) yang dipicu rasa benci, iri, dan sombong....
Denpasar (Antarasumsel.com) - "Allah mengatakan puasa itu untukku, puasa itu milikku. Itu karena ibadah shalat, zakat, dan haji masih bisa kelihatan orang lain, sedang puasa hanya orangnya dan Allah yang tahu," ujar seorang tokoh Islam di Bali.

Oleh karena itu, sesepuh dari kalangan ormas Nahdlatul Ulama (NU) Bali yang bernama KH Ahmad Jayadi itu menilai puasa sebagai ibadah spesial, karenanya pelaksanaan puasa pun menjadi sulit akibat kekhususannya itu.

"Bisa saja, mulut seseorang itu kering, tapi sebenarnya dia tidak berpuasa. Itu tidak ada yang tahu," ucap ulama asal Nganjuk, Jawa Timur, yang pernah memimpin PWNU Bali itu, di sela-sela menjadi imam tarawih di Mushalla/TPQ Al-Hidayah Jalan Gatot Subroto, Kota Denpasar (29/5).

Nah, sulitnya berpuasa di dunia nyata itu justru menjadi lebih sulit lagi dalam tataran pergaulan di dunia maya atau dunia digital yang kini menjadi "gaya hidup" masyarakat, karena inti dari puasa adalah mengendalikan diri.

Upaya mengendalikan diri di dunia maya itu tak semudah di dunia nyata, karena dunia maya dipenuhi dengan informasi palsu (hoax) yang dipicu rasa benci, iri, dan sombong.

Dengan benci, iri, dan sombong yang bersimpang siur dalam "chat" medsos, maka tujuan berpuasa untuk mengendalikan diri bisa menjadi berantakan.

Belum lagi, dunia maya juga dijejali akun-akun yang menawarkan informasi keagamaan yang bisa menjebak ke arah radikalisme atasnama agama.

Banyak orang tua yang tidak percaya bila anaknya menjadi radikal setelah menggali agama dari dunia maya yang diakrabi. Kelihatannya dia diam saja di permukaan, tapi di dunia maya cukup ramai dengan informasi keagamaan yang radikal.

Sementara para orang tua selama ini hanya menggali informasi keagamaan dari dunia nyata yang dapat ditelusuri guru dan kitab rujukannya.

Contohnya, tiga tahun terakhir (2015-2017) muncul Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di belantara Kalimantan atau Islamic State of Iraq and Shuriah (ISIS) di kawasan Suriah.

Baik Gafatar maupun ISIS itu mendapat simpati dari ratusan hingga jutaan pengikut dari kalangan anak-anak muda dari berbagai penjuru dunia yang berjejaring secara "bawah tanah" melalui media daring (dalam jaringan/online).

Misalnya, mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Erri Indra Kautsar (19) yang "menghilang" ke belantara Kalimantan selama kurun Agustus 2015, karena bergabung dengan Gafatar di Kota Pahlawan.

Atau, mahasiswa yang menjadi pelaku ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 24 Mei 2017, yakni Ichwan Nurul Salam (bom pertama) dan Ahmad Sukri (bom kedua/bom ransel), yang diduga masuk jaringan ISIS.

Orang tua dari para mahasiswa yang bergabung dengan Gafatar atau ISIS itu pun kecolongan, karena anaknya yang selama ini pendiam, santun, dan patuh, tiba-tiba menjadi sulit diatur, kaku, dan radikal.

    
              Jangan "Lebay".

Ya, informasi keagamaan yang hoax itu berakibat cukup fatal. Terbukti akhir-akhir ini muncul gejala sesat-menyesatkan, haram-mengharamkan, kafir-mengkafirkan hingga memberi cap "ahlu al-nar" (ahli neraka) dan lainnya.

Semua informasi keagamaan yang "keras" itu bersumber dari informasi keagamaan dengan "label" Sabda Rasul, Teladan Rasul, atau Quran Hadits, yang menjejali anak-anak muda yang masih labil di kampung-kampung digital.

Misalnya, "kultwit" dari media online X atau "share" dari ustaz Y yang dipublikasikan pada medsos itu berasal dari mereka yang sebetulnya tidak pernah "nyantri" di pesantren, apalagi kuliah tentang Islam di universitas, sehingga informasi keagamaan yang bertebaran pun bisa menyesatkan.

Padahal, "kultwit" atau "share" agamis itu tidak terlepas dari kepentingan sama sekali (bisnis, ideologis, atau politis), namun masyarakat bisa dengan mudah diracuni melalui media yang viral tentang informasi keagamaan yang mungkin saja dianggap baru diketahui, meski informasinya dangkal.

Informasi paling mudah diketahui tingkat kedangkalannya adalah perbuatan yang tidak ada dalilnya dan tidak ada pada zaman Rasulullah selalu disebut haram, sesat, dan tidak Syar'i. Apa mungkin zaman yang terjadi pada 571 Masehi (saat kelahiran Nabi) itu terulang pada tahun 2017?
Bukankah Rasulullah sendiri cukup bijak dengan sabdanya "Antum A'lamu Biumuri Dunyakum" (Kamu lebih tahu dengan urusan dunia-mu).

Sabda itu membuktikan bahwa Rasulullah sendiri cukup kontekstual untuk hal-hal yang tidak baku, dan Nabi juga tidak begitu mudahnya menyimpulkan ini sesat atau itu sesat.

Misalnya, konsep Khilafah Islamiyah yang tidak sebaku shalat lima waktu atau puasa Ramadhan, lalu kaum radikal dengan enteng menyebut sistem lain sebagai sesat.

Padahal, mereka juga mengampanyekan Khilafah Islamiyah itu lewat facebook, twitter, whatsapp, line, instagram, dan sejenisnya yang bukan produk atau karya dari kalangan kaum Muslim.

Apalagi, ungkapan sesat disampaikan kaum radikal itu dengan menolak bukti historis berupa Piagam Madinah, khususnya pasal 25-35 dari piagam itu yang membuktikan bahwa Rasulullah juga melindungi kaum Yahudi di Madinah.

Selain Piagam Madinah, mereka juga menolak kitab "al-Ahkam al-Sulthaniyyah" (Abu Hasan Ali al-Mawardi), atau kitab "al-Siyasah al-Syar'iyyah" (Ibnu Taimiyah) yang tidak mewajibkan khilafah legal-formal.

Nah, akun-akun sedangkal itulah yang merasuki anak-anak muda dan dengan begitu mudahnya pula memercayai dan langsung men-"share" kepada komunitas sebaya mereka yang dilabeli "jamaah paling alim se-dunia", seraya mengabaikan pandangan para ulama, para guru, dan para orang tua.

Jadi, berpuasa di era media sosial itu sulit, karena media sosial bisa mendorong niat puasa menjadi berantakan akibat tidak ikhlas (pamer atau riya'), atau justru terjebak dengan ritual ibadah yang sok Islami melalui akun-akun radikal hingga mudah membuat gerah masyarakat.

Hanya satu saran yang mungkin bisa menjadi solusi, yakni jangan "lebay" (egoistik atau merasa paling benar) dalam beragama melalui media sosial, agar puasa benar-benar menjadi milik Allah dan tidak terjebak dengan ritual puasa yang radikal pada tataran "permukaan".