Demi stabilkan harga

id pasar, sembako, pemerintah, sistem ekonomi

Demi stabilkan harga

Pasar Tradisional rakyat . (Antarasumsel.com/Aziz/Parni)

....konsumen cenderung menjadi korban dan sekaligus tidak serta merta menguntungkan produsen....
Kebijakan baru pemerintah untuk menstabilkan harga beras pantas diapresiasi dan didukung semua pihak karena stabilitas harga dalam sistem ekonomi merupakan situasi yang ideal.

Sebaliknya, dalam sistem apa pun, entah kapitalis entah sosialis, harga yang fluktuatif, apalagi pada level yang tajam, menyebabkan konsumen cenderung menjadi korban dan sekaligus tidak serta merta menguntungkan produsen, yang dalam hal beras, produsennya adalah petani, segmen pelaku ekonomi yang selama ini selalu dalam posisi tawar ekonomi yang lemah.

Dalam situasi harga yang fluktuatif penuh ketakpastian, yang paling banyak menangguk keuntungan material adalah para pedagang besar, yang menjadi salah satu pelaku ekonomi perantara antara produsen dan konsumen.

Cendekiawan Soedjatmoko sejak empat dasawarsa silam sudah mengingatkan bahwa dalam peningkatan harga beras, yang mengambil keuntungan bukanlah petani tapi pedagang perantara atau pemilik lahan pertanian alias tuan tanah. Sedangkan petani penggarap pada umumnya tak mendapatkan manfaat atas kenaikan harga beras itu.

Maka keputusan pemerintah untuk memberlakukan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas beras akan memberikan kepastian harga bagi konsumen.

Dengan kebijakan itu, komoditas beras, jika pemerintah hendak melalukan penguasaan persediaan, bisalah dikategorikan sebagai barang yang sekategori dengan bahan bakar minyak dan listrik, yang harganya ditetapkan oleh pemerintah.

Namun, jika penguasaan komoditas beras itu tak dilakukan oleh pemerintah, bahan pokok utama masyarakat ini tak bisa dikelompokkan sebagai komoditas selevel BBM dan energi listrik.

Apa dampak dari penetapan HET untuk komoditas yang penguasaan ketersediaannya tak dilakukan pemerintah? Di sini akan terjadi kerentanan pelanggaran atas ketetapan HET. Hal ini bisa dibuktikan pada komoditas obat-obatan bermerek yang dalam kemasannya tertera HET yang ditetapkan pemerintah.

Ambil contoh, obat sakit flu dan demam bermerek Biogesic yang HET-nya ditetapkan Rp1.900 untuk setiap satuan kemasan yang berisi empat butir tablet. Jika anda membeli obat itu di pasar swalayan atau toko swalayan waralaba terkemuka, HET itu dipatuhi.

Di sana harga jual dibanderol sesuai dengan HET. Namun, jika konsumen membelinya di warung-warung kecil, harga jualnya bisa berkisar Rp 2.000 hingga Rp2.500.

Karena selisih harga HET dan harga jual tak signifikan dan konsumsi komoditas obat itu tak begitu ajeg, konsumen tak berkeberatan dengan pelanggaran atas HET itu. Hal ini tentu berbeda dengan komoditas beras, yang dikonsumsi setiap hari dan karakter  komoditasnya yang lebih massif dibanding massa obat.

Apa pun dampak yang mungkin timbul jika penetapan HET beras itu tak diikuti penguasaan atas persediaan komoditasnya, keputusan pemerintah untuk mengambil kebijakan penstabilan harga beras layak diamini oleh publik.

Para pengamat ekonomi pada umumnya menyambut baik keputusan pemerintah untuk memberlakukan HET untuk beras itu. Meski begitu mereka juga memberi masukan bahwa pada beras terdapat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan pada BBM dan energi listrik.

Untuk dua komoditas terakhir itu, pemerintah telah sanggup melakukan penguasaan barangnya di atas 80 persen, sedangkan pada beras, Bulog hanya menguasai kurang dari 10 persen.

Dengan data-data semacam itu, diharapkan pemerintah memperkuat Bulog melakukan penguasaan komoditas beras yang selama ini dimainkan oleh swasta. Bulog perlu mendapat suntikan dana dari pemerintah untuk melakukan penguasaan komoditas.

Publik tentu mendukung upaya penguatan itu jika hasilnya memang menguntungkan baik konsumen maupun produsen atau petani padi.

Tampaknya penetapan HET pada beras masih merupakan langkah awal yang harus dimaknai sebagai langkah positif dalam menata perdagangan beras yang tentu saja tak bisa disimplifikasi dalam dua kategori, yakni beras medium dan premium.

Di pasar, beragam jenis beras dengan klaim-klaim keutamaan seperti beras untuk penyandang diabetes, beras organik, beras berserat, yang diterakan di kemasan oleh  pedagang, membuat harga beras itu cukup tinggi harganya, bisa berkisar Rp 20.000 hingga 25.000 per kg, jauh dibanding HET untuk beras premium yang ditetapkan berkisar antara Rp12.800 dan Rp13.600,.

Ada lagi jenis beras merah dan beras hitam, yang tentu saja tidak masuk perhitungan pemerintah karena beras-beras jenis itu tidak menjadi konsumen publik secara massal.

Tampaknya, untuk jenis-jenis beras yang tak masuk dalam dua kategori penetapan HET beras itulah pihak pedagang masih bisa berusaha dengan melampaui HET tanpa harus dianggap melakukan pelanggaran.

Harus diakui, untuk beras yang ditanam secara organik atau untuk beras jenis khusus seperti beras merah atau hitam, petani mengeluarkan biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras putih biasa.

Kebijakan HET beras diharapkan tak akan menutup kemungkinan bagi pemerintah memberikan ruang bagi pelaku usaha perberasan untuk berkreasi dalam usaha penyediaan beras khusus, yang dikonsumsi oleh kalangan menengah atas.

Dalam kenyataannya, di dunia transaksi ekonomi, selalu ada segmen masyarakat elite yang mau membayar mahal untuk produk-produk berkualitas tinggi, untuk komoditas apapun, termasuk beras.

Ruang yang mengecualikan produk komoditas bermutu tinggi inilah yang memungkinkan sebuah bisnis dan perdagangan bergerak dinamis. Hanya dengan demikian, para penemu bibit padi berkualitas tinggi akan terus bermunculan.